# 1

# 1

Kala jejak terhapus oleh hujan yang tak berpihak...kala itu jemari kian mengukir

# 2

# 2

Waktu bukan mesin penjawab tuk semua tanya, maka jangan kau gantung asamu tuk detak yang tak terhingga

3

# 3

Berkawanlah pada jarak.... maka menanti tidak lagi merisaukan

# 4

# 4

Namun, jangan lupakan daaun yang jatuh walau kan tumbuh daun baru

# 5

# 5

Penaku kan mengiring setiap kata yang terurai ditiap hembusa nafas

Rabu, 20 Agustus 2014

Ayah dan Ikan

Aku ingin bercerita padamu tentang sesosok lelaki terhebat di dunia ini. Lelaki bertanggung jawab, tegas, cerdas, dan sabar. Lelaki yang menjadi panutan dalam setiap langkahku. Tauladan di setiap hembus nafasku. Lelaki yang terus menangkupkan tangannya berdo’a pada sang Kuasa untukku dan semua orang yang ia cintai. Lelaki yang selalu tersenyum menyapa dunia dengan kebaikannya. Lelaki yang terus dan akan terus hidup untukku. Untuk keluarganya. Dia adalah ayahku.
Selalu berjuang tak kenal lelah. Bukan untuk dirinya, tapi untuk keluarganya. Untuk anak-anaknya, agar kami bisa mencontoh semangatnya dan terus berjuang.
Kemarin aku mendengar cerita ayahku saat reuni keluarga. Ayah bercerita mengapa sampai kini ia kecil dan kurus. Katanya, dulu saat ayah masih muda, setiap kali ia akan makan ia harus menunggu ayahnya pulang dari kerja dan mendahulukan ayahnya—kakekku. Itu sebabnya ia selalu makan belakangan dan mendapat ikan hanya bagian kepala dan ekor—umpamanya. Kini, saat ia telah memiliki keluarga sendiri, setiap kali ia hendak makan, istrinya—mamaku—selalu berkata untuk menunggu anak-anak pulang sekolah dan mendahulukan anaknya. Lalu ayah hanya mendapatkan kelapa dan ekor ikannya saja.
Ia terus saja mendahulukan orang lain, sedari kecil, hingga kini keriput memenuhi wajahnya. Tapi, aku tidak akan membiarkan ayah terus memakan kepala dan ekor saja. Aku akan berjuang untuk memberikan ayah ikan yang besar, tak hanya satu, bahkan milyaran. Aku akan meminta ayah untuk beristirahat setelah punggung penanggung beban itu bekerja keras. Suatu ketika nanti, aku akan memasak untuknya, ikan yang besar dan meminta ayah menghabiskannya.walaupun aku tahu pasti bahwa ayah tidak akan menghabiskan ikan itu hingga ia semakin tua. Karena ayah selalu mendahulukan orang lain sebelum dirinya sendiri.

Ayah, yang ku cintai selamanya.

Sabtu, 16 Agustus 2014

Bama si Laut tertawa

Pantai ini Bama namanya. Aku baru berkenalan dengannya. Ia memiliki air yang tenang serta pantai sebagai bahu yang landai. Jika dulu aku ingin hidup seperti air yang mengalir. Aku berfikir untuk tidak mengalir ke laut karena aku takut menjadi ombak yang mengguncangkan perahu. Aku ingin pergi ke danau dan tenang menjalani sisa hidup. Di sana tidak akan ada jeritan ketakutan dari para pelaut.
Namun, Bama memberiku pandangan lain mengenai laut. Di air tenang ini tetep ku dengar jeritan-jeritan. Jeritan bahagia. Anak-anak dan keluarga mencintai Bama layaknya seorang kakak bagi seorang adik kecil belajar berenang. Bama mengijinkan mereka mengarungi lebih jauh hingga pertengahan tanpa tenggelam. Bama menjaga mereka hingga rasa puas menggeliat di diri mereka. Keindahan ini menghadirkan banyak keluarga bagi Bama. Ia tidak lagi kesepian seperti pantai curam lainnya.
Aku kerap mendapati mentari bersemangat membakar laut. Tak sejahat yang ku kira rupanya. Mentari hanya menemani, kata Bama. Di bawah terik inilah Bama menghibur suara jeritan hingga petang mengantar mereka pulang.

Aku ingin menjadi Bama dan menghibur jeritan mereka dengan ketenangan ku. Tidak lagi seperti danau tak berkunjung. Terlalu sunyi untuk ku sebut sebagai ketenangan. Aku memanggilnya kesendirian. Jika aku adalah air, aku tidak ingin mengalir dari hulu dan menghantam bebatuan hanya untuk mendapat kesendirian. Aku ingin menghadapi hidup untuk lebih berarti hingga akhir menjadi batas bagiku.

Rabu, 13 Agustus 2014

Jendela Petang

Hari ini aku duduk termenung sendiri di belakang jendela. Menikmati senja tanpa jingga, tanpa suara parau burung gagak. Hanya ada awan-awan yang berselisih. Memisahkan diri dan bersatu dengan yang lain. Ulah angin, katanya. Angin pun membekukanku melalui celah jendela. Senja ini, aku ingin merasakan bagaimana perasaan Ratih yang sebenarnya. Dia adalah idolaku. Salah satu tokoh cerita yang ku tulis sendiri.
Ratih adalah seorang wanita yang tidak bisa melepas masa lalu. Terutama terkait Prana—lelaki yang ia cinta. Cinta mereka kandas, tidak akan pernah bersatu. Aku selalu memposisikan Ratih duduk seperti adanya diriku saat ini. Memperhatikan gagak, mendengar lantunan suara paraunya serta menikmati jingga keemasan tertelan petang. Ku gambarkan tangan Ratih yang keriput itu menyentuh besi jendela yang mulai berkarat. Lalu ia bisa mengingat masa lalunya dan melihat Prana dari kejauhan. Begitu kuat perasaannya terhadap lelaki itu sampai ia bisa mengetahui setiap hembusan nafas Prana walau mereka tidak lagi bersua selama enam belas tahun lamanya. Ratih selalu menghitung detak jantung Prana, dan terkadang ia tersenyum sendiri setelah mengetahui keadaan kekasihnya itu. Ratih selalu benar. Apa yang ia katakan setelah beranjak dari jendela senja itu selalu benar. Layaknya ia tengah bercengkrama dengan Prana tanpa ada batas jarak. Jendela itu seperti teropong baginya.
Kini sampai aku membeku menyaksikan petang mengusir senja, aku tidak merasakan apapun kecuali kaku karena angin terlalu kencang. Aku ingin menempelkan tanganku di besi jendela agar bisa menatap masa lalu, tapi tidak satupun kenanganku kembali. Layaknya aku adalah seorang bayi yang baru saja memasuki dunia. Yang kini dapat ku ingat hanyalah apa yang ku pandang. Awan yang berarak hilir mudik membentuk gambaran-gambaran, pohon yang terguncangkan angin dan besi yang dingin.
Aku tidak dapat mengingat masa lalu. Mungkin itu sudah kadaluarsa bagiku. Ya, mungkin. Atau usiaku lebih tua ketimbang senja? Mungkin aku sudah malam. Jika malam melihat kebelakang, hanya ada petang yang sama warnanya, gelap. Berbeda dengan petang yang bisa melihat senja. Ataupun senja yang melihat siang cerah. Dan siang yang melihat pagi sejuk. Masa laluku terlalu gelap untuk diingat. Aku sudah malam, yang ku lihat di belakangku hanyalah petang. Bahkan aku berharap petangku tertutup kabut selamanya, agar tidak lagi rasa rinduku mencuap bertanya.
Ingin ku tutup jendela ini. Dia berbeda dengan jendela milik Ratih. Jendelaku bukan kaca spion atau teropong. Melainkan sebuah cermin, yang harus ku tatap untuk mengetahui siapa diriku, bukan menyiakan waktu mengingat masa lalu suram. Tapi ku dengar bisikkan lirih dari Ratih sebelum jendela itu rapat ku tutup.

“ Kau harus berteman dengan gagak dan jingga jika ingin mereka bercerita.”

Air Mancur

Terkadang aku berfikir bahwa air yang telah terjun ke tempat lebih rendah tidak lagi dapat merangkak ke atas. Mereka tidak dapat kembali. Seperti takdir kehidupan bahwa saat kita berada di masa kini, kita tidak dapat merangkak kembali ke masa lalu. Dan penyesalan yang selalu berada di belakang seperti buntut? Mereka hanya membuat tumpuan rapuh. Saat itu juga, mereka akan menjadikan kaki lemas dan tidak ingin beranjak. Putus asa akan mengikuti, sedangkan masa depan selalu menagih janji.
Hal ini yang buatku iri pada air mancur. Ya, aku selalu iri. Kali ini aku iri karena air mancur begitu indah. Ia adalah air yang begitu beruntung. Air yang berada di bawah memiliki kesempatan untuk naik ke atas walau hanya sebentar. Mereka memiliki kesempatan yang mustahil untuk diperoleh. Andai aku menjadi air mancur, aku akan meminta untuk bisa naik ke atas lalu aku akan terjun lagi ke bawah. Saat aku berada di atas, aku bisa mengambil sisa-sisa kenangan yang pernah ku lewatkan.
Andaikan aku memiliki kesempatan itu, aku berharap bisa membuat mesin waktu untuk kembali ke masa lalu dan menghapus segala kesalahan. Aku tak ingin menjadi air yang hanya mengalir menerima takdir. Aku ingin kembali menyusun hidup agar tiada air mata yang selalu mengambang sebelum tidur bahkan saat ku terbangun. Hati ini begitu dicerca kesalahan. Tentangnya. Dia yang kini tlah hilang dari hadapanku. Dia yang kini meninggalkan puing kehancuran. Dia yang kini merusak hidupku, bahkan dunia mimpi yang tidak mungkin terjamah orang lain. Tentangnya yang ku cinta. Dulu. Sebelum dia pergi karena ulahku. Andai saja aku bisa menjadi air mancur itu. Andai saja aku bisa membuat mesin waktu. Aku ingin menciptakan masa lalu yang indah dan membawanya ke masa depan. Atau jika itu tidak dapat ku lakukan, setidaknya aku ingin melihat kembali bagaimana ia pernah menyuguhkan senyum untukku.

Aku tak ingin terpuruk olehnya dan membayangkan kemerlap lampu itu meredup. Aku ingin bohlam itu tetap terang hingga akhirku menatap.

Putri Tidur

Aku melihat ada sinar di malam hari. Layaknya senja. Sinar jingga di balik pegunungan. Sinar itu begitu jingga untuk malam yang harusnya berlatar gelap. Ku rasa ini pertama kalinya bisa ku lihat siluet pegunungan di malam hari dengan terang. Sebagaimana telah dikatakan oleh beberapa orang, pegunungan itu tampak seperti putri tidur. Aku bisa melihat ada mata, hidung dan mulut yang tergambar. Begitu jelas.
Senja yang belum berakhir setelah petang menyapa. Bulan pun tlah tampak rupanya. Aku melihat bagaimana pegunungan putri tidur itu lebih menarik saat senja ketimbang pagi cerah. Kali ini, setelah melihat siluet pegunungan itu, aku merasakan sebuah rasa yang telah lama ku rindukan. Entah bisa ku sebut apa, tapi rasa itu sungguh membuatku tidak nyaman. Sepertinya aku telah melihat diriku sendiri, dan pegunungan putri tidur itu menjadi cermin ku saat ini. Bedanya, aku tidak memiliki pagi bahkan siang yang cerah, ataupun senja yang kan melukiskan siluetku. Aku hanyalah putri tidur yang memiliki malam.
Putri tidur. Begitu sebagian orang memanggilnya. Panggilan untuk pegunungan berwajah itu, ataupun untukku. Aku tidak lebih dari seorang putri tidur. Hidupku, aku bahkan tidak tahu bahwa diriku masih bisa menghirup udara. Aku tidak dapat melakukan apapun, aku tidak dapat terbangun, tidak dapat merasakan apapun, bahkan mungkin dunia telah enggan menganggapku. Tapi, ketika mata ini masih berkedip, tangan ini tidak berhenti bergerak, kaki tak hentinya melangkah, serta seluruh organ yang masih dapat bekerja. Aku merasa bahwa aku masih hidup. Walau aku hidup seperti putri tidur. Tidak dapat terbangun dari mimpi. Tidak dapat membuka mata dan melihat dunia nyata. Aku tertidur, nyenyak sekali.
Aku bukanlah seseorang yang tidak berani menatap dunia dan saling bertegur sapa, hanya saja aku tidak menemukan kenyamanan ku di sana. Walau terkadang banyak umpatan dari orang lain untukku. Seperti, katak dalam tempurung, ataupun siput yang tidak pernah meninggalkan cangkangnya. Aku lebih nyaman hidup seperti ini. Bagiku, dunia ini hanyalah tempat dimana aku harus melewatinya dengan aman. Di luar sana pasti banyak bahaya yang akan dengan mudah menerpa. Aku, aku tak ingin hidup dalam bahaya itu. Tidak untuk kedua kalinya. Bagiku, tempurung bukanlah hal buruk, aku masih bisa hidup di dalamnya. Aku bisa hidup dengan imajinasiku saja. Membuat fantasi, bersenang-senang dengan teman khayalan. Kalian harus tahu, itu bukanlah hal buruk. Aku bisa membuatnya sesuai dengan keinginanku sendiri.

Malam ini. Aku tertarik kembali. Pada masa yang ku rindukan. Masa yang pernah membawaku mendengar kebisingan. Bagaimana bisa aku melupakan kenangan beberapa tahun silam, hanya karena usapan pedih di ujung tawaku. Hingga aku berakhir seperti putri tidur, bermimpi dan terus menutup mata. Aku benci merasakan hal ini. Cukup menjatuhkanku ke dalam jurang di sudut hati. Dalam dan kelam, kata itu saja yang tersisa untuk menggambarkannya. Jurang yang penuh dengan kenangan. Jurang yang sudah lama ku tutup dengan air mata. Kini terkuak kembali, setelah ujung mata melihat sinar senja dalam balik gulita. Rasa rindu yang pernah ku akhiri di tempat yang sama saat kini aku mengingatnya. Betapa haru dan menyesakkan dada. Aku benci mengenang masa lalu, aku ingin berhenti memandangai siluet diriku, tapi mengapa di sisi lain aku menginginkan momen seperti ini? Bahkan langkahku tak kunjung pergi walau angin menerpa begitu mencerca. Dingin. Aku ingin kembali tertidur dan menikmati fantasi yang ku buat sendiri.

Savana

Coklat berbalut hijau nan rindang di bawah biru yang berkilau di atas coklat yang gersang. Sebuah pohon di savana. Pohon yang berani menurutku. Ia hidup sebagai payung bagi kawanan yang terpisah dari alam liar untuk menghabiskan hidup dalam kekang. Sebuah rindang yang berdiri di atas tandus. Mungkin akarnya tlah mencengkram erat kekeringan. Mendapatkan air dari keringat kawanan karena terik mentari yang menghujam. Bulir keringat pemburu yang tidak memiliki mangsa. Mereka hanya menanti untuk makanan siap saja. Kawanan yang akan menghabiskan sisa hidup untuk dipertontonkan. Dan pohon rindang itu berharap keringat mereka dapat terus menumbuhkan daun untuk menjadikannya tetap rindang.
Pohon besar yang berdiri kokoh di hadapanku menjadi bahu untuk kawanan-kawanan yang kering karena gersang. Namun, ia tetap berdiri dengan gagahnya. Berharap keringat kan menembus tandus dan merapatkannya menjadi tanah yang coklat subur. Itu akan membutuhkan waktu yang lama ku rasa. Bagaimana dengan akar pohon itu? Apakah ia mengeras dan membatu, ataukah perlahan tlah mati? Entahlah. Itulah pengorbanannya.

Aku ingin menjadi pohon itu. Hidup untuk memayungi siapapun yang membutuhkanku. Di dalam medan sekeras apapun, sesakit apapun, aku harus menjadi peneduh bagi kawanan yang kering. Menjadi hijau untuk di antara gersang. Menjadi pendengar setia dalam bungkam. Menjadi yang terkuat di antara tumbuhan yang telah mati kekeringan. Tapi aku tidak sanggup menjadi seperti itu. Aku tak cukup rindang untuk mereka yang malah menjadi payung untukku. Aku tak cukup kokoh untuk mendengarkan cerita dalam bungkam. Aku bukanlah pohon  savana yang bisa mencengkram tandus. Aku kering, aku tak cukup kuat, aku terlalu lemah untuk berdiri sendiri. Aku iri pada pohon savana itu.