# 1

# 1

Kala jejak terhapus oleh hujan yang tak berpihak...kala itu jemari kian mengukir

# 2

# 2

Waktu bukan mesin penjawab tuk semua tanya, maka jangan kau gantung asamu tuk detak yang tak terhingga

3

# 3

Berkawanlah pada jarak.... maka menanti tidak lagi merisaukan

# 4

# 4

Namun, jangan lupakan daaun yang jatuh walau kan tumbuh daun baru

# 5

# 5

Penaku kan mengiring setiap kata yang terurai ditiap hembusa nafas

Rabu, 13 Agustus 2014

Jendela Petang

Hari ini aku duduk termenung sendiri di belakang jendela. Menikmati senja tanpa jingga, tanpa suara parau burung gagak. Hanya ada awan-awan yang berselisih. Memisahkan diri dan bersatu dengan yang lain. Ulah angin, katanya. Angin pun membekukanku melalui celah jendela. Senja ini, aku ingin merasakan bagaimana perasaan Ratih yang sebenarnya. Dia adalah idolaku. Salah satu tokoh cerita yang ku tulis sendiri.
Ratih adalah seorang wanita yang tidak bisa melepas masa lalu. Terutama terkait Prana—lelaki yang ia cinta. Cinta mereka kandas, tidak akan pernah bersatu. Aku selalu memposisikan Ratih duduk seperti adanya diriku saat ini. Memperhatikan gagak, mendengar lantunan suara paraunya serta menikmati jingga keemasan tertelan petang. Ku gambarkan tangan Ratih yang keriput itu menyentuh besi jendela yang mulai berkarat. Lalu ia bisa mengingat masa lalunya dan melihat Prana dari kejauhan. Begitu kuat perasaannya terhadap lelaki itu sampai ia bisa mengetahui setiap hembusan nafas Prana walau mereka tidak lagi bersua selama enam belas tahun lamanya. Ratih selalu menghitung detak jantung Prana, dan terkadang ia tersenyum sendiri setelah mengetahui keadaan kekasihnya itu. Ratih selalu benar. Apa yang ia katakan setelah beranjak dari jendela senja itu selalu benar. Layaknya ia tengah bercengkrama dengan Prana tanpa ada batas jarak. Jendela itu seperti teropong baginya.
Kini sampai aku membeku menyaksikan petang mengusir senja, aku tidak merasakan apapun kecuali kaku karena angin terlalu kencang. Aku ingin menempelkan tanganku di besi jendela agar bisa menatap masa lalu, tapi tidak satupun kenanganku kembali. Layaknya aku adalah seorang bayi yang baru saja memasuki dunia. Yang kini dapat ku ingat hanyalah apa yang ku pandang. Awan yang berarak hilir mudik membentuk gambaran-gambaran, pohon yang terguncangkan angin dan besi yang dingin.
Aku tidak dapat mengingat masa lalu. Mungkin itu sudah kadaluarsa bagiku. Ya, mungkin. Atau usiaku lebih tua ketimbang senja? Mungkin aku sudah malam. Jika malam melihat kebelakang, hanya ada petang yang sama warnanya, gelap. Berbeda dengan petang yang bisa melihat senja. Ataupun senja yang melihat siang cerah. Dan siang yang melihat pagi sejuk. Masa laluku terlalu gelap untuk diingat. Aku sudah malam, yang ku lihat di belakangku hanyalah petang. Bahkan aku berharap petangku tertutup kabut selamanya, agar tidak lagi rasa rinduku mencuap bertanya.
Ingin ku tutup jendela ini. Dia berbeda dengan jendela milik Ratih. Jendelaku bukan kaca spion atau teropong. Melainkan sebuah cermin, yang harus ku tatap untuk mengetahui siapa diriku, bukan menyiakan waktu mengingat masa lalu suram. Tapi ku dengar bisikkan lirih dari Ratih sebelum jendela itu rapat ku tutup.

“ Kau harus berteman dengan gagak dan jingga jika ingin mereka bercerita.”

0 komentar:

Posting Komentar