Coklat
berbalut hijau nan rindang di bawah biru yang berkilau di atas coklat yang
gersang. Sebuah pohon di savana. Pohon yang berani menurutku. Ia hidup sebagai
payung bagi kawanan yang terpisah dari alam liar untuk menghabiskan hidup dalam
kekang. Sebuah rindang yang berdiri di atas tandus. Mungkin akarnya tlah
mencengkram erat kekeringan. Mendapatkan air dari keringat kawanan karena terik
mentari yang menghujam. Bulir keringat pemburu yang tidak memiliki mangsa.
Mereka hanya menanti untuk makanan siap saja. Kawanan yang akan menghabiskan
sisa hidup untuk dipertontonkan. Dan pohon rindang itu berharap keringat mereka
dapat terus menumbuhkan daun untuk menjadikannya tetap rindang.
Pohon
besar yang berdiri kokoh di hadapanku menjadi bahu untuk kawanan-kawanan yang
kering karena gersang. Namun, ia tetap berdiri dengan gagahnya. Berharap
keringat kan menembus tandus dan merapatkannya menjadi tanah yang coklat subur.
Itu akan membutuhkan waktu yang lama ku rasa. Bagaimana dengan akar pohon itu?
Apakah ia mengeras dan membatu, ataukah perlahan tlah mati? Entahlah. Itulah
pengorbanannya.
Aku
ingin menjadi pohon itu. Hidup untuk memayungi siapapun yang membutuhkanku. Di
dalam medan sekeras apapun, sesakit apapun, aku harus menjadi peneduh bagi
kawanan yang kering. Menjadi hijau untuk di antara gersang. Menjadi pendengar
setia dalam bungkam. Menjadi yang terkuat di antara tumbuhan yang telah mati
kekeringan. Tapi aku tidak sanggup menjadi seperti itu. Aku tak cukup rindang
untuk mereka yang malah menjadi payung untukku. Aku tak cukup kokoh untuk
mendengarkan cerita dalam bungkam. Aku bukanlah pohon savana yang bisa mencengkram tandus. Aku
kering, aku tak cukup kuat, aku terlalu lemah untuk berdiri sendiri. Aku iri
pada pohon savana itu.
0 komentar:
Posting Komentar