Aku
ingin bercerita padamu tentang sesosok lelaki terhebat di dunia ini. Lelaki
bertanggung jawab, tegas, cerdas, dan sabar. Lelaki yang menjadi panutan dalam
setiap langkahku. Tauladan di setiap hembus nafasku. Lelaki yang terus
menangkupkan tangannya berdo’a pada sang Kuasa untukku dan semua orang yang ia
cintai. Lelaki yang selalu tersenyum menyapa dunia dengan kebaikannya. Lelaki
yang terus dan akan terus hidup untukku. Untuk keluarganya. Dia adalah ayahku.
Selalu
berjuang tak kenal lelah. Bukan untuk dirinya, tapi untuk keluarganya. Untuk
anak-anaknya, agar kami bisa mencontoh semangatnya dan terus berjuang.
Kemarin
aku mendengar cerita ayahku saat reuni keluarga. Ayah bercerita mengapa sampai
kini ia kecil dan kurus. Katanya, dulu saat ayah masih muda, setiap kali ia
akan makan ia harus menunggu ayahnya pulang dari kerja dan mendahulukan
ayahnya—kakekku. Itu sebabnya ia selalu makan belakangan dan mendapat ikan
hanya bagian kepala dan ekor—umpamanya. Kini, saat ia telah memiliki keluarga
sendiri, setiap kali ia hendak makan, istrinya—mamaku—selalu berkata untuk
menunggu anak-anak pulang sekolah dan mendahulukan anaknya. Lalu ayah hanya
mendapatkan kelapa dan ekor ikannya saja.
Ia
terus saja mendahulukan orang lain, sedari kecil, hingga kini keriput memenuhi
wajahnya. Tapi, aku tidak akan membiarkan ayah terus memakan kepala dan ekor
saja. Aku akan berjuang untuk memberikan ayah ikan yang besar, tak hanya satu,
bahkan milyaran. Aku akan meminta ayah untuk beristirahat setelah punggung
penanggung beban itu bekerja keras. Suatu ketika nanti, aku akan memasak
untuknya, ikan yang besar dan meminta ayah menghabiskannya.walaupun aku tahu
pasti bahwa ayah tidak akan menghabiskan ikan itu hingga ia semakin tua. Karena
ayah selalu mendahulukan orang lain sebelum dirinya sendiri.
0 komentar:
Posting Komentar