# 1

# 1

Kala jejak terhapus oleh hujan yang tak berpihak...kala itu jemari kian mengukir

# 2

# 2

Waktu bukan mesin penjawab tuk semua tanya, maka jangan kau gantung asamu tuk detak yang tak terhingga

3

# 3

Berkawanlah pada jarak.... maka menanti tidak lagi merisaukan

# 4

# 4

Namun, jangan lupakan daaun yang jatuh walau kan tumbuh daun baru

# 5

# 5

Penaku kan mengiring setiap kata yang terurai ditiap hembusa nafas

Minggu, 26 Oktober 2014

pertengkaran nurani

Aku berperang dengan hati nurani. Mereka meminta ku untuk menyerah mendapatkanmu, seperti sebelumnya. Aku selalu kalah di hadapan cinta. Entah, mungkin aku belum pantas menurutnya. Lalu kini aku harus menyerah kembali? Mereka menjawab “ Iya” dengan lugas. Namun seiring waktu, fikiranku mulai berani memberontak. Mereka semakin memojokanku.
Saat ini termenung menjadi hobi buruk yang merajaiku. Menghapus senyum dan segala imajinasi yang biasanya tanpa sungkan mengembangkan sayapnya. Luntur semua. Bilapun itu sebuah kain, maka warnanya akan pudar. Dan kini saat aku sendiri, aku bagai kain yang luntur tanpa sisa warna setitikpun. Hati dan fikiran tak henti memaki satu sama lain. Mana yang harus ku ikuti?
Hati yang lelah terus saja mencucurkan keringat, berupaya untuk menolak apa yang semestinya ku terima. Lalu fikiran yang ikut lelah karena terlalu banyak mengalah, kini mulai mencuap lebih lebar.
“ Urungkan, cinta tak harus memiliki.” Kata hati. Ia selalu begitu. Membuatku kalah di hadapan cinta lalu menjadi budak mereka.
Benar saja, selama ini aku terus bersembunyi di balik mata. Diam-diam mengincar mangsa, tapi takut untuk menerkam karena hati tidak mengijinkan. Sekuat apapun fikiran memberontak, hati terus saja menang. Itu membuatku kehilangan banyak kesempatan.
Bagaimana dengan fikiranku? Mereka terus mengatakan, “ Sedikit saja, ijinkan egois mengendalikanmu. Tidak kah kau ingin menyanding cinta yang terus kau dambakan di balik mata?”

Tentu saja. Bagaimana mungkin aku tidak menginginkan cinta melilitkan rangkulannya di bahuku. Pasti sangat menyenangkan bila aku tidak lagi sendiri. Setidaknya aku ingin mengijinkan keegoisan mempertinggi prakarsanya. Mengalahkan hati yang terus menerus menciut. Aku juga ingin mengijinkan mereka menerkam walau waktu belum menentukan. Aku ingin sedikit saja lebih berupaya mendapatkan. Bukan saja untuk menantikan. Tapi, darah ketakutan yang telah hati cucurkan itu mengalir begitu padat di nadi ku. Lagi-lagi aku tidak berani melangkah. Lagi-lagi cinta melangkah semakin jauh, dan aku hanya bisa menyaksikan.

0 komentar:

Posting Komentar