Aku
tidak sanggup mencintai siapapun. Bukan. Lebih dapat disebut dengan tidak
layak. Jika ku ibaratkan hati itu sebuah bola, aku harus membaginya menjadi
dua. Satu untukku, dan satu lagi untuk kekasihku. Namun, cinta selama ini lebih
mirip dengan permainan. Bola itu ku biarkan utuh untuk digiring ke kanan dan ke
kiri. Ku berikan pada mereka seutuhnya hanya untuk sekejap saja, lalu diberikan
pada yang lain, sama sekejapnya. Tidak satupun ku bagi. Tidak ku belah untuk
siapa nantinya, karena aku masih memilih. Di antara pemain itu, tidak satupun
yang memiliki separuh bahkan secuil hatiku. Aku menghampiri mereka sama
besarnya. Hanya sebagai tempat persinggahan saja.
Cinta
yang ku mainkan dengan canda tawa tanpa memperhatikan bagaimana akhir dari
cerita. Malah ku banggakan bagaimana perjalananku menemukan dermaga
persinggahan. Kini ku rasakan. Bola yang tadi utuh tergores oleh sumpah serapah
mereka yang tersakiti. Goresan itu akhirnya membuat bolaku berlubang. Lalu kan
mengempis dan tak dapat berputar lagi. Bolaku hancur. Hatiku hancur. Hanya sisa
saja yang kini ku miliki untuk bertahan hidup. Berharap ada yang akan
menerimanya. Bukan untuk dihargai. Bahkan jika ku buang, tidak akan ada yang
memungutnya untuk diperbaiki. Lalu cinta sempurna yang pernah ku bayangkan kini
beranjak pergi.
Aku
menyesal. Tidak memiliki keindahan cinta seperti yang ku damba. Terjun ke dalam
kesendirian seperti fakir. Menengadahkan tangan meminta. Andai saja pangeran
impian kan tiba. Lalu apa yang kan ku beri? Aku seperti kepompong saja.
Kepompong yang telah ditinggalkan oleh kupu-kupu. Mereka terlahir indah dariku.
Tapi kini tlah hilang. Lalu aku tersisa kosong. Berharap angin menghempaskan ku
agar lebih cepat sirna.
0 komentar:
Posting Komentar