# 1

# 1

Kala jejak terhapus oleh hujan yang tak berpihak...kala itu jemari kian mengukir

# 2

# 2

Waktu bukan mesin penjawab tuk semua tanya, maka jangan kau gantung asamu tuk detak yang tak terhingga

3

# 3

Berkawanlah pada jarak.... maka menanti tidak lagi merisaukan

# 4

# 4

Namun, jangan lupakan daaun yang jatuh walau kan tumbuh daun baru

# 5

# 5

Penaku kan mengiring setiap kata yang terurai ditiap hembusa nafas

Rabu, 10 September 2014

Aku Dermaga

Katanya, pohon itu lambang dari kesatuan. Menyatukan banyak daun dengan ranting dan batang. Tapi tetap saja ada daun yang jatuh lalu berpisah.
Katanya air itu mengalir dari ketinggian menuju samudra untuk mencari ketenangan, agar tidak lagi berjalan menghantam batu-batuan. Namun di samudra itu air akan menjadi ombak yang bisa mengombang-ambingkan perahu.
Katanya manusia itu punya dua kaki. Kau takkan bisa berjalan dengan satu kaki. Kalaupun hal itu bisa dilakukan, mungkin akan sangat sulit.
Dan katanya, dunia ini tidak hanya ada satu sisi, pasti banyak sekali sisi yang belum ku jelajahi. Kau pun begitu.
Kini saatnya kau pergi, melihat apa yang selama ini kau dambakan. Peluit telah dibunyikan, tanda bahwa kapal pesiar harus segera meninggalkan dermaga untuk menuju ke dermaga lainnya.
Tahukah kau? Berapa banyak orang menangis ketika kapal mulai berangkat? Banyak yang harus mengucapkan selamat tinggal. Kau harus melepaskan penumpang lama mu untuk mengantar penumpang baru.
Ini pertama kalinya aku membenci suara peluit, terdengar tidak nyaring, sangat pelik di kuping. Aku harus melambaikan tangan mengucap selamat tinggal untuk kapal pesiar yang baru saja bersandar pada bahuku, dermaga usang yang kian renta setelah kepergianmu.
Tapi aku mohon, jangan pernah melupakan daun yang jatuh walau kau akan menemukan daun baru. Tidak perlu mencari ketenangan terlalu jauh, karna kau telah memilikinya di sekitar. Jangan pula  kau berjalan dengan satu kaki bila kau punya keduanya.
Karena daun yang jatuh itu tidak akan bisa kembali, mungkin ia akan kering lalu terinjak kaki makhluk lainnya dan mati. Sama seperti ku.
Karena ketenangan tak harus kau cari sejauh itu, jika kau sedikit saja mengamati lebih dalam, sedikit saja mendengar lebih banyak, kau akan dapati bahwa ketenangan itu ada di sekelilingmu, begitu dekat. Itulah aku.
Karena kaki yang berjalan sendiri akan merasa lelah tanpa teman untuk berbagi, karena kaki yang berjalan sendiri akan merasa kesepian, seperti tangan yang tak kau basuh secara bersamaan.
Peluit itu akan mengantarmu menyebrangi samudra lain, kau akan terombang-ambing disana. Tidak juga nanti kau kan dapati dermaga yang tenang seperti ku saat ini. Karena kau tidak akan bisa menerawang jauh dibalik pelupuk mata. Dan mungkin saja, jika kau menemukan hal bahagia baru seperti yang ku khawatirkan, kau akan menghapus kenangan kita saat saling bersandar melepas lelah.

Di dunia tidak akan ada yang kekal, pertemuan pun diciptakan untuk perpisahan, harusnya aku bisa lebih mempersiapkannya, agar aku tidak jatuh cinta pada kapal pesiar manapun yang nanti akan berlabuh, berlabuh untuk sesaat lalu kan pergi. Sama sepertimu.

Selasa, 09 September 2014

Keluh Mereka

Ibu, anakmu kini sedang mencintai seorang lelaki. Dia juga pernah mencintaiku, tapi aku sama saja seperti ayah yang terus menerus menarik ulur hati banyak wanita. Dan aku melakukannya pada laki-laki yang ku cintai itu bu, aku menyakitinya. Sekarang ia tak lagi mencintaiku. Dia membuangku jauh. Aku diacuhkan begitu saja. Namun kini aku menantikannya, bu. Aku ingin dicintai olehnya lagi. Tapi kesempatan kedua tak kunjung menemuiku.
            Ibu, apakah cinta sesakit ini? Apakah kau tetap mencintai ayah yang pernah menyakitimu? Apakah kau memberinya kesempatan lagi? Kau harus mencintainya, kau harus beri ayah kesempatan lagi, bu. Aku tak ingin dibuang.
            Ibu, aku telah merendahkan harga diriku sendiri di hadapannya. Aku mengiba padanya, bu. Aku memintanya kembali mencintaiku. Namun aku datang terlambat. Cinta ku tak cukup untuk menyelamatkan kisah kami. Dia tlah memiliki wanita lain. Mereka tampak bahagia. Layaknya dirimu dengan papa tercinta.
            Katakan pada anakmu ini, bu. Apakah kau tetap saja mengingat ayah walau sudah ada lelaki lain yang lebih baik darinya? Kau harus! Bukankah di sela kesedihanmu masih ada kenangan manis? Aku tahu persis kejadian saat itu, memang kesalahan yang ayah lakukan sangatlah besar. Kini kesalahan itu tlah ku lakukan. Nasib ku sama seperti ayah.
            Bu, aku sedang menangis karena menyesal. Aku baru tahu bahwa penyesalan bukanlah kata kunci untuk membuatnya kembali. Apakah ayah pernah menangis seperti ini padamu? Jika dia melakukannya, apakah kau iba? Kau pernah mencintai ayah kan, bu? Lantas tidakkah ada secuil sisa cinta dari perasaan itu? Apakah kesalahan ayah menghapus kenangan kalian begitu saja?
            Jika kau mencampakkannya, maka aku tahu bagaimana perasaan ayah yang dijalari penyesalan. Mungkin kami berdua ingin menciptakan mesin waktu untuk memutar kembali kejadian masa lalu agar tiada kisah sepahit ini. Kehilangan cinta itu sangat menyakitkan, bu. Kau pasti pernah merasakannya.
            Bu, bagaimana kau bisa menjadi wanita yang begitu setia? Bagaimana perasaanmu saat itu, bu? Kau pasti sangat terpukul. Ya, aku tahu itu. Mungkin itu menjadi alasan yang sama untuk lelaki yang ku cintai meninggalkanku. Bagaimana bisa drama cinta kalian kini menimpaku? Laki-laki yang ku cintai itu sangat mirip denganmu, bu. Dia lelaki setia, lelaki penuh cinta. Anakmu ini mencintainya, ibu. Aku rela mempertaruhkan yang ku miliki pada dunia untuk mendapatkannya. Tapi itu tidak akan berhasil. Dunia lebih kaya daripada ku.
            Ibu, kata orang cinta ini datang terlambat. Lalu apakah keterlambatan itu tak bisa diampuni? Layak seorang siswi datang terlambat ke sekolah. Bagimana aku bisa memperbaikinya, bu?
            Ibu, jangan kau benci aku seperti laki-laki itu membenciku. Mengapa aku berperan menjadi ayah? Mengapa aku yang melakukan kesalahan itu? Mengapa aku yang dicampakkan? Apakah aku karma dari ayah? Cukup hatiku lah yang menghakimi. Batang cinta ini tlah rapuh. Aku tlah buruk di mata cintaku. Entahlah, mungkin aku tidak akan bermain lagi dengan cinta. Mungkin aku akan hidup sendiri mulai saat ini. Cukup sekali saja ku alami gagalnya cinta. Aku akan belajar setia menantinya.

            Ibu, mengapa aku mewarisi sifat ayah yang tidak bisa setia? Aku masih punya hati. Aku bisa merasakan penyesalan. Aku ingin memperbaikinya, bu. Aku ingin kesempatan kedua. Aku ingin lirik lain selain menyesal dan menunggu.