# 1

# 1

Kala jejak terhapus oleh hujan yang tak berpihak...kala itu jemari kian mengukir

# 2

# 2

Waktu bukan mesin penjawab tuk semua tanya, maka jangan kau gantung asamu tuk detak yang tak terhingga

3

# 3

Berkawanlah pada jarak.... maka menanti tidak lagi merisaukan

# 4

# 4

Namun, jangan lupakan daaun yang jatuh walau kan tumbuh daun baru

# 5

# 5

Penaku kan mengiring setiap kata yang terurai ditiap hembusa nafas

Minggu, 07 Desember 2014

BOHONG...

Bisakah cinta berawal dari kebohongan? Lalu tumbuh dari paksaan dan menyebar luas sebagai kemunafikan yang siap menggerogoti ketulusan. Bisakah cinta hanya mengikuti fikiran sebagai perancang skenarionya? Tanpa adanya hati sebagai pengganggu realitas. Apa yang dibutuhkan dari cinta? Sakit yang terucap dari kejujuran, atau sebuah bahagia yang tercipta di sela kebohongan? Hah. Apa lagi istimewa cinta? Lika-liku jalan karena harus mengarungi samudra berdua? Atau lebih memilih jalan setapak yang belum jelas arahnya? Mengapa cinta begitu besar untuk dijadikan alasan hidup? Semenarik apa ia? Abstrak. Mengenali cinta dari sesosok manusia yang juga bisa membawamu berbelit dengan ketidaknyamanan. Cinta yang berwujud bualan kata sanjung yang sebenarnya adalah nama lain dari sumpah serapah dengan kemasan berkilau. Ataupun cinta dengan warna-warni yang nantinya bisa ternoda dan membekas bak kelam. Lalu bisakah bahagia tercipta tanpanya?

Dulu terasa. Hal aneh menggeliat begitu menggelikan. Bagai orang bodoh yang bisa melakukan berbagai hal gila karena sebuah mantra yang disebut cinta. Berkelana berdua. Entah menggunakan kuda, kaki atau sayap yang kau rancang dari kapas. Layaknya dunia ini hanya se sisi. Tidak ada halayak lainnya kecuali insan yang bercinta. Dulu terasa. Sangat hangat. Tapi itu dulu. Sebelum wajahnya berubah murung karena tersakiti. Buat malaikat-malaikat hati tertidur begitu pulas, walau fikiran dan hati bertengkar begitu berisik.
...
Ruangan ini terasa begitu sesak walaupun ukurannya begitu luas. Mungkin karena aku tidak mengijinkan angin untuk masuk dan mengusap kulitku. Mereka berhenti. Semuanya. Entah itu detak jam, jarak, siulan angin, bahkan suara cicak yang biasanya selalu ku caci sebelum ia akhirnya terdiam. Ku harap, detak jantung serta hembusan nafas ini pun terhenti. Biarkan aku sejenak saja melepasnya pergi.
Di sampingku. Sebuah jendela besar sengaja ku biarkan berdebu. Butuh berhari-hari tanpa membersihkannya. Biarkan ia bergulat dengan polusi, sebelum akhirnya kalah karena tidak sanggup membela diri. Lalu ku ukir. Sebuah nama. Nama yang entah dimana pemiliknya. Aku mengeja satu per satu huruf yang tertera, sembari jemari mengukir lembut penuh kerinduan. Rindu yang ku tebar selama sembilan tahun ini. Untuk sebuah nama yang pernah menggeliatkan rasa aneh di sekujur tubuhku. Dulu. Sembilan tahun yang lalu. Bahkan dengan keterbatasan memori aku masih berusaha mengingatnya. Hampir putus asa. Namun, jendela ini selalu menemani. Seperti burung, aku selalu bertengger kala rindu mulai mengusik.

Jumat, 21 November 2014

pesanku untuk Nan

Inikah yang akan menjadi kenangan terakhir antara kita?

Aku bisa berkata apa sebagai gantinya? Hanya kata terima kasih yang kini tidak tersekat di lidah.

Terima kasih telah menemaniku selama bertahun ini...pahit manis kau telan tanpa ragu. Untukku.

Namun, aku masih terbelenggu di dalam masa lalu...

Raga dan jiwa hampir tidak pernah bersatu...

Mereka tidak beranjak dari silam. Raga ku kosong...kau pasti mengetahuinya...

Pernah ku panggil kau, “cinta.”
Pernah jemari ini mengukirnya di kaca spion motor hitam mu. Tak hanya sekali...karena itu pun tulus, sebanyak ukiran ku buat, sebanyak itu pula rasa yang kumiliki...

Tapi, itu tidak cukup membebaskanku dari jeritan silam...
Mereka selalu membuntuti...

Genggam mu tidak cukup kuat mengangkatku...

Maaf...mungkin kekejaman ini kan berakhir saat ini.

Kiranya kisah kita kan terukir seperti relief candi yang pernah kita singgahi...
kiranya itu mungkin, setidaknya banyak orang yang akan berkunjung untuk melihatnya lalu menerka apa yang pernah kita lewati bersama...
kiranya itu mungkin, maka kisah ku dengan mu akan membatu dan abadi

aku tidak akan pernah lupa, walaupun batu kan begitu keras tuk diukir, tapi percayalah...aku tidak akan berhenti bercerita hingga batu itu menggambar kan kisah kita...

jarak ini, jarak yang tidak pernah ku ingini...
jarak ini, mungkin kan jadi akhir, namun ku mau tuk terus menjadi awal kebahagiaan bagimu...bagiku...

Kamis, 13 November 2014

egoisku...

Cinta...aku akan menjadi sangat egois padamu.
Tidak ingin sejengkal kau lebih jauh...
Tidak ingin pelukku terlepas walau kan sedetik...
Bisa kah kau hanya diam tak jauh dari rengkuh lengan?

Jika pun kau kan pergi. Bisa kah tak jauh dari kecaman pelupuk mata?

Rabu, 29 Oktober 2014

Jangan!

Sejak awal aku bertemu denganmu, ku lihat mata tajam nan dalam itu. Lalu sejak detik itu juga aku mengatakan, “Jangan!”
Ku perhatikan sejenak lebih lama. Alis tebal dan memiliki lesung pipi. Entah mengapa hatiku terus berteriak, “ Jangan! Jangan!”
Aku mengalihkan perhatian darimu. Mencoba menemukan sesuatu yang lain. Tidak ingin ada sebuah rasa yang hinggap terlalu cepat. Namun angin mulai membuai dengan bisikannya. Mereka menyebutkan namamu hingga membuat senyumku tumbuh tanpa diminta. Awan pun berarak mengikuti. Menggambarkan siluetmu dalam warna jingga. Dan senyumku semakin tertarik lebar. Mereka menggodaku untuk terus menatapmu, berharap kau pun menatapku.
Saat itu, masih berjuang tuk hilangkan gambaranmu di ujung mata ini. Tapi telinga terngiang oleh suaramu, entah pada siapa kau berbicara, namun itu membuat hati ini terus berteriak semakin pekik, “ Jangan! Jangan! Jangan.” Apa yang membuatnya begitu kuat?
Ku tanyakan pada hati yang terus berdegup seiring kata itu terucap. Dan aku terkejut, lebih dari saat petasan meletus di hadapanku.
Jangan!
Jangan pernah membuat mata tajam nan dalam itu mengalirkan air mata kepedihan.
Jangan!
Jangan sampai lesung pipi itu sirna karena sedih.
Jangan!
Jangan membuatnya mengerutkan dahi karena marah.
Jangan!
Jangan kau mengacaukan suasana hati yang senang.
Jangan kau buat ia kecewa.
Jangan kau buat ia lupa akan kebahagiaan.
Jangan kau buat ia lari dan tak kembali.

Serentak air mataku mengalir begitu deras. Bagaimana bisa hati yang telah mati mengatakan hal itu layaknya aku telah mendapatkannya?  Layaknya aku mengenalnya sejak lama. Entah, apa namanya. Tapi rasa ini membuatku semakin khawatir. Apa yang harus ku lakukan setelah ini? Menamakannya “ Jangan!” dan aku berjanji akan mendahulukan kebahagiaannya.

Selasa, 28 Oktober 2014

cinta, sudah tidurkah?

Cinta. Sudah tidurkah? Mimpi indah kah? Aku ingin memelukmu, sekali saja untuk bekal bahagiaku selamanya. Dapatkah? Aku telah memperhatikanmu. Bisakah kau tatap aku dan mengartikan tatapanku? Aku sering mengatakan kata cinta. Terngiangkah di telingamu? Aku pun selalu menantimu memejamkan mata, membayangkan untuk membelai rambutmu hingga kau terlelap. Aku tidak akan tidur sebelum mu. Apa pun yang kau lakukan aku juga akan mencobanya. Apapun yang membuatmu lelah, aku juga ingin merasakannya.
Cinta. Sudah tidurkah? Dengarkah kau doa-doa ku? Aku ingin kau bahagia. Tidak ingin setetes air mata mengalir merusak indah senyummu. Tidak ingin amarah mengerutkan dahimu. Bisakah aku terus menjagamu? Susah senang bersama. Jika setetes air mata kesedihan menetes darimu, maka akan ada seratus tetesan air mata yang mengalir dariku. Jika setetes darah luka menggoresmu, maka aku akan membiarkan itu mengalir deras di nadiku.
Cinta. Sudah tidurkah? Apakah dingin mengusikmu? Aku akan memarahi angin dan memintanya diam sejenak. Cinta. Dapatkah aku memanggilmu begitu untuk selamanya? Aku tidak ingin kau menghilang, bahkan sedetik dari pandanganku. Tidak ingin jarak memisahkan, bahkan sejengkal. Aku ingin dan sangat ingin berada di sisimu, semakin dekat dan lebih dekat. Bisakah hanya aku yang warnai hidupmu? Melantunkan lagu ceria di pagimu? Membuatkan mu makanan lezat, menyeka keringat, memijat kaki lelahmu dan menciummu. Mungkinkah?

Cinta. Jika kau tidak menginginkan semua itu, maka acuhkan. Tapi, aku tidak akan berhenti melakukannya. Buatlah aku sebagai dermaga yang bisa kau singgahi dan kau tinggalkan kapanpun. Pukul aku jika kau ingin lampiaskan amarah, berteriaklah di hadapanku jika kau merasakan kesedihan. Teteskan air matamu di bahuku sesukamu. Hanya itu yang membuatku bahagia. Bolehkan aku memintamu untuk tetap bahagia agar aku tidak kehilangan keceriaan? Jika kau tidak menginginkan semua itu, aku mohon, setidaknya biarkan rasa ini merajalela hingga memangsaku. Cukup jalani saja kehidupanmu, aku ingin kau bahagia selamanya.

Minggu, 26 Oktober 2014

pertengkaran nurani

Aku berperang dengan hati nurani. Mereka meminta ku untuk menyerah mendapatkanmu, seperti sebelumnya. Aku selalu kalah di hadapan cinta. Entah, mungkin aku belum pantas menurutnya. Lalu kini aku harus menyerah kembali? Mereka menjawab “ Iya” dengan lugas. Namun seiring waktu, fikiranku mulai berani memberontak. Mereka semakin memojokanku.
Saat ini termenung menjadi hobi buruk yang merajaiku. Menghapus senyum dan segala imajinasi yang biasanya tanpa sungkan mengembangkan sayapnya. Luntur semua. Bilapun itu sebuah kain, maka warnanya akan pudar. Dan kini saat aku sendiri, aku bagai kain yang luntur tanpa sisa warna setitikpun. Hati dan fikiran tak henti memaki satu sama lain. Mana yang harus ku ikuti?
Hati yang lelah terus saja mencucurkan keringat, berupaya untuk menolak apa yang semestinya ku terima. Lalu fikiran yang ikut lelah karena terlalu banyak mengalah, kini mulai mencuap lebih lebar.
“ Urungkan, cinta tak harus memiliki.” Kata hati. Ia selalu begitu. Membuatku kalah di hadapan cinta lalu menjadi budak mereka.
Benar saja, selama ini aku terus bersembunyi di balik mata. Diam-diam mengincar mangsa, tapi takut untuk menerkam karena hati tidak mengijinkan. Sekuat apapun fikiran memberontak, hati terus saja menang. Itu membuatku kehilangan banyak kesempatan.
Bagaimana dengan fikiranku? Mereka terus mengatakan, “ Sedikit saja, ijinkan egois mengendalikanmu. Tidak kah kau ingin menyanding cinta yang terus kau dambakan di balik mata?”

Tentu saja. Bagaimana mungkin aku tidak menginginkan cinta melilitkan rangkulannya di bahuku. Pasti sangat menyenangkan bila aku tidak lagi sendiri. Setidaknya aku ingin mengijinkan keegoisan mempertinggi prakarsanya. Mengalahkan hati yang terus menerus menciut. Aku juga ingin mengijinkan mereka menerkam walau waktu belum menentukan. Aku ingin sedikit saja lebih berupaya mendapatkan. Bukan saja untuk menantikan. Tapi, darah ketakutan yang telah hati cucurkan itu mengalir begitu padat di nadi ku. Lagi-lagi aku tidak berani melangkah. Lagi-lagi cinta melangkah semakin jauh, dan aku hanya bisa menyaksikan.

Kamis, 16 Oktober 2014

Sang Fakir

Aku tidak sanggup mencintai siapapun. Bukan. Lebih dapat disebut dengan tidak layak. Jika ku ibaratkan hati itu sebuah bola, aku harus membaginya menjadi dua. Satu untukku, dan satu lagi untuk kekasihku. Namun, cinta selama ini lebih mirip dengan permainan. Bola itu ku biarkan utuh untuk digiring ke kanan dan ke kiri. Ku berikan pada mereka seutuhnya hanya untuk sekejap saja, lalu diberikan pada yang lain, sama sekejapnya. Tidak satupun ku bagi. Tidak ku belah untuk siapa nantinya, karena aku masih memilih. Di antara pemain itu, tidak satupun yang memiliki separuh bahkan secuil hatiku. Aku menghampiri mereka sama besarnya. Hanya sebagai tempat persinggahan saja.
Cinta yang ku mainkan dengan canda tawa tanpa memperhatikan bagaimana akhir dari cerita. Malah ku banggakan bagaimana perjalananku menemukan dermaga persinggahan. Kini ku rasakan. Bola yang tadi utuh tergores oleh sumpah serapah mereka yang tersakiti. Goresan itu akhirnya membuat bolaku berlubang. Lalu kan mengempis dan tak dapat berputar lagi. Bolaku hancur. Hatiku hancur. Hanya sisa saja yang kini ku miliki untuk bertahan hidup. Berharap ada yang akan menerimanya. Bukan untuk dihargai. Bahkan jika ku buang, tidak akan ada yang memungutnya untuk diperbaiki. Lalu cinta sempurna yang pernah ku bayangkan kini beranjak pergi.

Aku menyesal. Tidak memiliki keindahan cinta seperti yang ku damba. Terjun ke dalam kesendirian seperti fakir. Menengadahkan tangan meminta. Andai saja pangeran impian kan tiba. Lalu apa yang kan ku beri? Aku seperti kepompong saja. Kepompong yang telah ditinggalkan oleh kupu-kupu. Mereka terlahir indah dariku. Tapi kini tlah hilang. Lalu aku tersisa kosong. Berharap angin menghempaskan ku agar lebih cepat sirna.

Rabu, 10 September 2014

Aku Dermaga

Katanya, pohon itu lambang dari kesatuan. Menyatukan banyak daun dengan ranting dan batang. Tapi tetap saja ada daun yang jatuh lalu berpisah.
Katanya air itu mengalir dari ketinggian menuju samudra untuk mencari ketenangan, agar tidak lagi berjalan menghantam batu-batuan. Namun di samudra itu air akan menjadi ombak yang bisa mengombang-ambingkan perahu.
Katanya manusia itu punya dua kaki. Kau takkan bisa berjalan dengan satu kaki. Kalaupun hal itu bisa dilakukan, mungkin akan sangat sulit.
Dan katanya, dunia ini tidak hanya ada satu sisi, pasti banyak sekali sisi yang belum ku jelajahi. Kau pun begitu.
Kini saatnya kau pergi, melihat apa yang selama ini kau dambakan. Peluit telah dibunyikan, tanda bahwa kapal pesiar harus segera meninggalkan dermaga untuk menuju ke dermaga lainnya.
Tahukah kau? Berapa banyak orang menangis ketika kapal mulai berangkat? Banyak yang harus mengucapkan selamat tinggal. Kau harus melepaskan penumpang lama mu untuk mengantar penumpang baru.
Ini pertama kalinya aku membenci suara peluit, terdengar tidak nyaring, sangat pelik di kuping. Aku harus melambaikan tangan mengucap selamat tinggal untuk kapal pesiar yang baru saja bersandar pada bahuku, dermaga usang yang kian renta setelah kepergianmu.
Tapi aku mohon, jangan pernah melupakan daun yang jatuh walau kau akan menemukan daun baru. Tidak perlu mencari ketenangan terlalu jauh, karna kau telah memilikinya di sekitar. Jangan pula  kau berjalan dengan satu kaki bila kau punya keduanya.
Karena daun yang jatuh itu tidak akan bisa kembali, mungkin ia akan kering lalu terinjak kaki makhluk lainnya dan mati. Sama seperti ku.
Karena ketenangan tak harus kau cari sejauh itu, jika kau sedikit saja mengamati lebih dalam, sedikit saja mendengar lebih banyak, kau akan dapati bahwa ketenangan itu ada di sekelilingmu, begitu dekat. Itulah aku.
Karena kaki yang berjalan sendiri akan merasa lelah tanpa teman untuk berbagi, karena kaki yang berjalan sendiri akan merasa kesepian, seperti tangan yang tak kau basuh secara bersamaan.
Peluit itu akan mengantarmu menyebrangi samudra lain, kau akan terombang-ambing disana. Tidak juga nanti kau kan dapati dermaga yang tenang seperti ku saat ini. Karena kau tidak akan bisa menerawang jauh dibalik pelupuk mata. Dan mungkin saja, jika kau menemukan hal bahagia baru seperti yang ku khawatirkan, kau akan menghapus kenangan kita saat saling bersandar melepas lelah.

Di dunia tidak akan ada yang kekal, pertemuan pun diciptakan untuk perpisahan, harusnya aku bisa lebih mempersiapkannya, agar aku tidak jatuh cinta pada kapal pesiar manapun yang nanti akan berlabuh, berlabuh untuk sesaat lalu kan pergi. Sama sepertimu.

Selasa, 09 September 2014

Keluh Mereka

Ibu, anakmu kini sedang mencintai seorang lelaki. Dia juga pernah mencintaiku, tapi aku sama saja seperti ayah yang terus menerus menarik ulur hati banyak wanita. Dan aku melakukannya pada laki-laki yang ku cintai itu bu, aku menyakitinya. Sekarang ia tak lagi mencintaiku. Dia membuangku jauh. Aku diacuhkan begitu saja. Namun kini aku menantikannya, bu. Aku ingin dicintai olehnya lagi. Tapi kesempatan kedua tak kunjung menemuiku.
            Ibu, apakah cinta sesakit ini? Apakah kau tetap mencintai ayah yang pernah menyakitimu? Apakah kau memberinya kesempatan lagi? Kau harus mencintainya, kau harus beri ayah kesempatan lagi, bu. Aku tak ingin dibuang.
            Ibu, aku telah merendahkan harga diriku sendiri di hadapannya. Aku mengiba padanya, bu. Aku memintanya kembali mencintaiku. Namun aku datang terlambat. Cinta ku tak cukup untuk menyelamatkan kisah kami. Dia tlah memiliki wanita lain. Mereka tampak bahagia. Layaknya dirimu dengan papa tercinta.
            Katakan pada anakmu ini, bu. Apakah kau tetap saja mengingat ayah walau sudah ada lelaki lain yang lebih baik darinya? Kau harus! Bukankah di sela kesedihanmu masih ada kenangan manis? Aku tahu persis kejadian saat itu, memang kesalahan yang ayah lakukan sangatlah besar. Kini kesalahan itu tlah ku lakukan. Nasib ku sama seperti ayah.
            Bu, aku sedang menangis karena menyesal. Aku baru tahu bahwa penyesalan bukanlah kata kunci untuk membuatnya kembali. Apakah ayah pernah menangis seperti ini padamu? Jika dia melakukannya, apakah kau iba? Kau pernah mencintai ayah kan, bu? Lantas tidakkah ada secuil sisa cinta dari perasaan itu? Apakah kesalahan ayah menghapus kenangan kalian begitu saja?
            Jika kau mencampakkannya, maka aku tahu bagaimana perasaan ayah yang dijalari penyesalan. Mungkin kami berdua ingin menciptakan mesin waktu untuk memutar kembali kejadian masa lalu agar tiada kisah sepahit ini. Kehilangan cinta itu sangat menyakitkan, bu. Kau pasti pernah merasakannya.
            Bu, bagaimana kau bisa menjadi wanita yang begitu setia? Bagaimana perasaanmu saat itu, bu? Kau pasti sangat terpukul. Ya, aku tahu itu. Mungkin itu menjadi alasan yang sama untuk lelaki yang ku cintai meninggalkanku. Bagaimana bisa drama cinta kalian kini menimpaku? Laki-laki yang ku cintai itu sangat mirip denganmu, bu. Dia lelaki setia, lelaki penuh cinta. Anakmu ini mencintainya, ibu. Aku rela mempertaruhkan yang ku miliki pada dunia untuk mendapatkannya. Tapi itu tidak akan berhasil. Dunia lebih kaya daripada ku.
            Ibu, kata orang cinta ini datang terlambat. Lalu apakah keterlambatan itu tak bisa diampuni? Layak seorang siswi datang terlambat ke sekolah. Bagimana aku bisa memperbaikinya, bu?
            Ibu, jangan kau benci aku seperti laki-laki itu membenciku. Mengapa aku berperan menjadi ayah? Mengapa aku yang melakukan kesalahan itu? Mengapa aku yang dicampakkan? Apakah aku karma dari ayah? Cukup hatiku lah yang menghakimi. Batang cinta ini tlah rapuh. Aku tlah buruk di mata cintaku. Entahlah, mungkin aku tidak akan bermain lagi dengan cinta. Mungkin aku akan hidup sendiri mulai saat ini. Cukup sekali saja ku alami gagalnya cinta. Aku akan belajar setia menantinya.

            Ibu, mengapa aku mewarisi sifat ayah yang tidak bisa setia? Aku masih punya hati. Aku bisa merasakan penyesalan. Aku ingin memperbaikinya, bu. Aku ingin kesempatan kedua. Aku ingin lirik lain selain menyesal dan menunggu.

Rabu, 20 Agustus 2014

Ayah dan Ikan

Aku ingin bercerita padamu tentang sesosok lelaki terhebat di dunia ini. Lelaki bertanggung jawab, tegas, cerdas, dan sabar. Lelaki yang menjadi panutan dalam setiap langkahku. Tauladan di setiap hembus nafasku. Lelaki yang terus menangkupkan tangannya berdo’a pada sang Kuasa untukku dan semua orang yang ia cintai. Lelaki yang selalu tersenyum menyapa dunia dengan kebaikannya. Lelaki yang terus dan akan terus hidup untukku. Untuk keluarganya. Dia adalah ayahku.
Selalu berjuang tak kenal lelah. Bukan untuk dirinya, tapi untuk keluarganya. Untuk anak-anaknya, agar kami bisa mencontoh semangatnya dan terus berjuang.
Kemarin aku mendengar cerita ayahku saat reuni keluarga. Ayah bercerita mengapa sampai kini ia kecil dan kurus. Katanya, dulu saat ayah masih muda, setiap kali ia akan makan ia harus menunggu ayahnya pulang dari kerja dan mendahulukan ayahnya—kakekku. Itu sebabnya ia selalu makan belakangan dan mendapat ikan hanya bagian kepala dan ekor—umpamanya. Kini, saat ia telah memiliki keluarga sendiri, setiap kali ia hendak makan, istrinya—mamaku—selalu berkata untuk menunggu anak-anak pulang sekolah dan mendahulukan anaknya. Lalu ayah hanya mendapatkan kelapa dan ekor ikannya saja.
Ia terus saja mendahulukan orang lain, sedari kecil, hingga kini keriput memenuhi wajahnya. Tapi, aku tidak akan membiarkan ayah terus memakan kepala dan ekor saja. Aku akan berjuang untuk memberikan ayah ikan yang besar, tak hanya satu, bahkan milyaran. Aku akan meminta ayah untuk beristirahat setelah punggung penanggung beban itu bekerja keras. Suatu ketika nanti, aku akan memasak untuknya, ikan yang besar dan meminta ayah menghabiskannya.walaupun aku tahu pasti bahwa ayah tidak akan menghabiskan ikan itu hingga ia semakin tua. Karena ayah selalu mendahulukan orang lain sebelum dirinya sendiri.

Ayah, yang ku cintai selamanya.

Sabtu, 16 Agustus 2014

Bama si Laut tertawa

Pantai ini Bama namanya. Aku baru berkenalan dengannya. Ia memiliki air yang tenang serta pantai sebagai bahu yang landai. Jika dulu aku ingin hidup seperti air yang mengalir. Aku berfikir untuk tidak mengalir ke laut karena aku takut menjadi ombak yang mengguncangkan perahu. Aku ingin pergi ke danau dan tenang menjalani sisa hidup. Di sana tidak akan ada jeritan ketakutan dari para pelaut.
Namun, Bama memberiku pandangan lain mengenai laut. Di air tenang ini tetep ku dengar jeritan-jeritan. Jeritan bahagia. Anak-anak dan keluarga mencintai Bama layaknya seorang kakak bagi seorang adik kecil belajar berenang. Bama mengijinkan mereka mengarungi lebih jauh hingga pertengahan tanpa tenggelam. Bama menjaga mereka hingga rasa puas menggeliat di diri mereka. Keindahan ini menghadirkan banyak keluarga bagi Bama. Ia tidak lagi kesepian seperti pantai curam lainnya.
Aku kerap mendapati mentari bersemangat membakar laut. Tak sejahat yang ku kira rupanya. Mentari hanya menemani, kata Bama. Di bawah terik inilah Bama menghibur suara jeritan hingga petang mengantar mereka pulang.

Aku ingin menjadi Bama dan menghibur jeritan mereka dengan ketenangan ku. Tidak lagi seperti danau tak berkunjung. Terlalu sunyi untuk ku sebut sebagai ketenangan. Aku memanggilnya kesendirian. Jika aku adalah air, aku tidak ingin mengalir dari hulu dan menghantam bebatuan hanya untuk mendapat kesendirian. Aku ingin menghadapi hidup untuk lebih berarti hingga akhir menjadi batas bagiku.

Rabu, 13 Agustus 2014

Jendela Petang

Hari ini aku duduk termenung sendiri di belakang jendela. Menikmati senja tanpa jingga, tanpa suara parau burung gagak. Hanya ada awan-awan yang berselisih. Memisahkan diri dan bersatu dengan yang lain. Ulah angin, katanya. Angin pun membekukanku melalui celah jendela. Senja ini, aku ingin merasakan bagaimana perasaan Ratih yang sebenarnya. Dia adalah idolaku. Salah satu tokoh cerita yang ku tulis sendiri.
Ratih adalah seorang wanita yang tidak bisa melepas masa lalu. Terutama terkait Prana—lelaki yang ia cinta. Cinta mereka kandas, tidak akan pernah bersatu. Aku selalu memposisikan Ratih duduk seperti adanya diriku saat ini. Memperhatikan gagak, mendengar lantunan suara paraunya serta menikmati jingga keemasan tertelan petang. Ku gambarkan tangan Ratih yang keriput itu menyentuh besi jendela yang mulai berkarat. Lalu ia bisa mengingat masa lalunya dan melihat Prana dari kejauhan. Begitu kuat perasaannya terhadap lelaki itu sampai ia bisa mengetahui setiap hembusan nafas Prana walau mereka tidak lagi bersua selama enam belas tahun lamanya. Ratih selalu menghitung detak jantung Prana, dan terkadang ia tersenyum sendiri setelah mengetahui keadaan kekasihnya itu. Ratih selalu benar. Apa yang ia katakan setelah beranjak dari jendela senja itu selalu benar. Layaknya ia tengah bercengkrama dengan Prana tanpa ada batas jarak. Jendela itu seperti teropong baginya.
Kini sampai aku membeku menyaksikan petang mengusir senja, aku tidak merasakan apapun kecuali kaku karena angin terlalu kencang. Aku ingin menempelkan tanganku di besi jendela agar bisa menatap masa lalu, tapi tidak satupun kenanganku kembali. Layaknya aku adalah seorang bayi yang baru saja memasuki dunia. Yang kini dapat ku ingat hanyalah apa yang ku pandang. Awan yang berarak hilir mudik membentuk gambaran-gambaran, pohon yang terguncangkan angin dan besi yang dingin.
Aku tidak dapat mengingat masa lalu. Mungkin itu sudah kadaluarsa bagiku. Ya, mungkin. Atau usiaku lebih tua ketimbang senja? Mungkin aku sudah malam. Jika malam melihat kebelakang, hanya ada petang yang sama warnanya, gelap. Berbeda dengan petang yang bisa melihat senja. Ataupun senja yang melihat siang cerah. Dan siang yang melihat pagi sejuk. Masa laluku terlalu gelap untuk diingat. Aku sudah malam, yang ku lihat di belakangku hanyalah petang. Bahkan aku berharap petangku tertutup kabut selamanya, agar tidak lagi rasa rinduku mencuap bertanya.
Ingin ku tutup jendela ini. Dia berbeda dengan jendela milik Ratih. Jendelaku bukan kaca spion atau teropong. Melainkan sebuah cermin, yang harus ku tatap untuk mengetahui siapa diriku, bukan menyiakan waktu mengingat masa lalu suram. Tapi ku dengar bisikkan lirih dari Ratih sebelum jendela itu rapat ku tutup.

“ Kau harus berteman dengan gagak dan jingga jika ingin mereka bercerita.”

Air Mancur

Terkadang aku berfikir bahwa air yang telah terjun ke tempat lebih rendah tidak lagi dapat merangkak ke atas. Mereka tidak dapat kembali. Seperti takdir kehidupan bahwa saat kita berada di masa kini, kita tidak dapat merangkak kembali ke masa lalu. Dan penyesalan yang selalu berada di belakang seperti buntut? Mereka hanya membuat tumpuan rapuh. Saat itu juga, mereka akan menjadikan kaki lemas dan tidak ingin beranjak. Putus asa akan mengikuti, sedangkan masa depan selalu menagih janji.
Hal ini yang buatku iri pada air mancur. Ya, aku selalu iri. Kali ini aku iri karena air mancur begitu indah. Ia adalah air yang begitu beruntung. Air yang berada di bawah memiliki kesempatan untuk naik ke atas walau hanya sebentar. Mereka memiliki kesempatan yang mustahil untuk diperoleh. Andai aku menjadi air mancur, aku akan meminta untuk bisa naik ke atas lalu aku akan terjun lagi ke bawah. Saat aku berada di atas, aku bisa mengambil sisa-sisa kenangan yang pernah ku lewatkan.
Andaikan aku memiliki kesempatan itu, aku berharap bisa membuat mesin waktu untuk kembali ke masa lalu dan menghapus segala kesalahan. Aku tak ingin menjadi air yang hanya mengalir menerima takdir. Aku ingin kembali menyusun hidup agar tiada air mata yang selalu mengambang sebelum tidur bahkan saat ku terbangun. Hati ini begitu dicerca kesalahan. Tentangnya. Dia yang kini tlah hilang dari hadapanku. Dia yang kini meninggalkan puing kehancuran. Dia yang kini merusak hidupku, bahkan dunia mimpi yang tidak mungkin terjamah orang lain. Tentangnya yang ku cinta. Dulu. Sebelum dia pergi karena ulahku. Andai saja aku bisa menjadi air mancur itu. Andai saja aku bisa membuat mesin waktu. Aku ingin menciptakan masa lalu yang indah dan membawanya ke masa depan. Atau jika itu tidak dapat ku lakukan, setidaknya aku ingin melihat kembali bagaimana ia pernah menyuguhkan senyum untukku.

Aku tak ingin terpuruk olehnya dan membayangkan kemerlap lampu itu meredup. Aku ingin bohlam itu tetap terang hingga akhirku menatap.

Putri Tidur

Aku melihat ada sinar di malam hari. Layaknya senja. Sinar jingga di balik pegunungan. Sinar itu begitu jingga untuk malam yang harusnya berlatar gelap. Ku rasa ini pertama kalinya bisa ku lihat siluet pegunungan di malam hari dengan terang. Sebagaimana telah dikatakan oleh beberapa orang, pegunungan itu tampak seperti putri tidur. Aku bisa melihat ada mata, hidung dan mulut yang tergambar. Begitu jelas.
Senja yang belum berakhir setelah petang menyapa. Bulan pun tlah tampak rupanya. Aku melihat bagaimana pegunungan putri tidur itu lebih menarik saat senja ketimbang pagi cerah. Kali ini, setelah melihat siluet pegunungan itu, aku merasakan sebuah rasa yang telah lama ku rindukan. Entah bisa ku sebut apa, tapi rasa itu sungguh membuatku tidak nyaman. Sepertinya aku telah melihat diriku sendiri, dan pegunungan putri tidur itu menjadi cermin ku saat ini. Bedanya, aku tidak memiliki pagi bahkan siang yang cerah, ataupun senja yang kan melukiskan siluetku. Aku hanyalah putri tidur yang memiliki malam.
Putri tidur. Begitu sebagian orang memanggilnya. Panggilan untuk pegunungan berwajah itu, ataupun untukku. Aku tidak lebih dari seorang putri tidur. Hidupku, aku bahkan tidak tahu bahwa diriku masih bisa menghirup udara. Aku tidak dapat melakukan apapun, aku tidak dapat terbangun, tidak dapat merasakan apapun, bahkan mungkin dunia telah enggan menganggapku. Tapi, ketika mata ini masih berkedip, tangan ini tidak berhenti bergerak, kaki tak hentinya melangkah, serta seluruh organ yang masih dapat bekerja. Aku merasa bahwa aku masih hidup. Walau aku hidup seperti putri tidur. Tidak dapat terbangun dari mimpi. Tidak dapat membuka mata dan melihat dunia nyata. Aku tertidur, nyenyak sekali.
Aku bukanlah seseorang yang tidak berani menatap dunia dan saling bertegur sapa, hanya saja aku tidak menemukan kenyamanan ku di sana. Walau terkadang banyak umpatan dari orang lain untukku. Seperti, katak dalam tempurung, ataupun siput yang tidak pernah meninggalkan cangkangnya. Aku lebih nyaman hidup seperti ini. Bagiku, dunia ini hanyalah tempat dimana aku harus melewatinya dengan aman. Di luar sana pasti banyak bahaya yang akan dengan mudah menerpa. Aku, aku tak ingin hidup dalam bahaya itu. Tidak untuk kedua kalinya. Bagiku, tempurung bukanlah hal buruk, aku masih bisa hidup di dalamnya. Aku bisa hidup dengan imajinasiku saja. Membuat fantasi, bersenang-senang dengan teman khayalan. Kalian harus tahu, itu bukanlah hal buruk. Aku bisa membuatnya sesuai dengan keinginanku sendiri.

Malam ini. Aku tertarik kembali. Pada masa yang ku rindukan. Masa yang pernah membawaku mendengar kebisingan. Bagaimana bisa aku melupakan kenangan beberapa tahun silam, hanya karena usapan pedih di ujung tawaku. Hingga aku berakhir seperti putri tidur, bermimpi dan terus menutup mata. Aku benci merasakan hal ini. Cukup menjatuhkanku ke dalam jurang di sudut hati. Dalam dan kelam, kata itu saja yang tersisa untuk menggambarkannya. Jurang yang penuh dengan kenangan. Jurang yang sudah lama ku tutup dengan air mata. Kini terkuak kembali, setelah ujung mata melihat sinar senja dalam balik gulita. Rasa rindu yang pernah ku akhiri di tempat yang sama saat kini aku mengingatnya. Betapa haru dan menyesakkan dada. Aku benci mengenang masa lalu, aku ingin berhenti memandangai siluet diriku, tapi mengapa di sisi lain aku menginginkan momen seperti ini? Bahkan langkahku tak kunjung pergi walau angin menerpa begitu mencerca. Dingin. Aku ingin kembali tertidur dan menikmati fantasi yang ku buat sendiri.

Savana

Coklat berbalut hijau nan rindang di bawah biru yang berkilau di atas coklat yang gersang. Sebuah pohon di savana. Pohon yang berani menurutku. Ia hidup sebagai payung bagi kawanan yang terpisah dari alam liar untuk menghabiskan hidup dalam kekang. Sebuah rindang yang berdiri di atas tandus. Mungkin akarnya tlah mencengkram erat kekeringan. Mendapatkan air dari keringat kawanan karena terik mentari yang menghujam. Bulir keringat pemburu yang tidak memiliki mangsa. Mereka hanya menanti untuk makanan siap saja. Kawanan yang akan menghabiskan sisa hidup untuk dipertontonkan. Dan pohon rindang itu berharap keringat mereka dapat terus menumbuhkan daun untuk menjadikannya tetap rindang.
Pohon besar yang berdiri kokoh di hadapanku menjadi bahu untuk kawanan-kawanan yang kering karena gersang. Namun, ia tetap berdiri dengan gagahnya. Berharap keringat kan menembus tandus dan merapatkannya menjadi tanah yang coklat subur. Itu akan membutuhkan waktu yang lama ku rasa. Bagaimana dengan akar pohon itu? Apakah ia mengeras dan membatu, ataukah perlahan tlah mati? Entahlah. Itulah pengorbanannya.

Aku ingin menjadi pohon itu. Hidup untuk memayungi siapapun yang membutuhkanku. Di dalam medan sekeras apapun, sesakit apapun, aku harus menjadi peneduh bagi kawanan yang kering. Menjadi hijau untuk di antara gersang. Menjadi pendengar setia dalam bungkam. Menjadi yang terkuat di antara tumbuhan yang telah mati kekeringan. Tapi aku tidak sanggup menjadi seperti itu. Aku tak cukup rindang untuk mereka yang malah menjadi payung untukku. Aku tak cukup kokoh untuk mendengarkan cerita dalam bungkam. Aku bukanlah pohon  savana yang bisa mencengkram tandus. Aku kering, aku tak cukup kuat, aku terlalu lemah untuk berdiri sendiri. Aku iri pada pohon savana itu.

Kamis, 05 Juni 2014

BERSAMA BAHAGIA



         Tuhan menciptakan perbedaan di antara manusia bukan untuk perseteruan. Seperti yang kau ketahui tentang pelangi. Berwarna-warni namun tetap menciptakan keindahan. Kau tahu? Bagaimana keindahan dalam perbedaan? Rasanya hampir sama seperti memakan gado-gado. Banyak campuran di dalamnya tapi tetap manis. Bayangkan saja jika di dunia seluas ini hanya persamaan, seperti kau melihat pohon sama warnanya dengan putihnya dinding, takkan ada hijau yang menyejukkan mata. Mungkin burung pun enggan bersarang di dahannya.
         Perbedaanlah yang mengajarkan kita mengenal banyak warna dan pola dari dunia. Bayangkan saja dunia ini damai, saling menghormati satu sama lain, saling menjaga, saling memberi, mungkin saja kau menyebut dunia sebagai tempat singgah paling indah.
       
kain coklat putih yang membaluti tubuhmu itu namanya jubah...
kuning dan warna-warni yang menutupi rambutku itu namanya jilbab...
dan satu yang terindah,
senyum yang membaluti kita itu namanya perdamaian.

love my big family :)

Jumat, 30 Mei 2014

"Tanpa Nada."

lantunan lagu mendayu hentikan lamunan...
senyap....
tiada satu katapun kan terungkap....
kehampaan mendesak penuhi ruang tak berudara...

patahkan kobaran api kegigihan...
hadirkan asa hingga tertatih tanpa tumpuan...
tak satu helaipun benang dapat berdiri...
merangkak terhuyung hembusan topan tiada ampun...

bersaksi wahai bulan dalam bisu...
nampak merana dari kejauhan rasakan tangis ku...
walau tanpa nada namun tetap berirama...
tapi hambar dirasa...

pada siapa kan ku bagi,,
ribuan ratap tidak sanggup terpikul....
sejuta ketakutan bergeming mengundang gundah...
goreskan luka,, tarik ulur hati hingga tak bernyawa...

untuk siapa aku teteskan air mata ??
tak terbendung mengalir banjiri pipi....
mati rasa senyum tak lagi bersinar....
tenggelam bersama jiwa tidak berdaya...

katakan bahwa semua langkah tak berarah...
yakinkan ku bahwa berdiri kan sia-sia...
dendangkan lantunan syair putus asa...
melepas kebahagiaan menjadi kelamm...

kini....
bintang tlah redup,,
bumi berhenti berputar...
tapi tak satupun dapat rasakan...
sebuah kepedihan yang menggelitik...
sesak kan nafas...
mengubur hidup-hidup harapan tuk bersinar...