Bisakah cinta berawal dari
kebohongan? Lalu tumbuh dari paksaan dan menyebar luas sebagai kemunafikan yang
siap menggerogoti ketulusan. Bisakah cinta hanya mengikuti fikiran sebagai
perancang skenarionya? Tanpa adanya hati sebagai pengganggu realitas. Apa yang
dibutuhkan dari cinta? Sakit yang terucap dari kejujuran, atau sebuah bahagia
yang tercipta di sela kebohongan? Hah. Apa lagi istimewa cinta? Lika-liku jalan
karena harus mengarungi samudra berdua? Atau lebih memilih jalan setapak yang belum
jelas arahnya? Mengapa cinta begitu besar untuk dijadikan alasan hidup? Semenarik
apa ia? Abstrak. Mengenali cinta dari sesosok manusia yang juga bisa membawamu
berbelit dengan ketidaknyamanan. Cinta yang berwujud bualan kata sanjung yang
sebenarnya adalah nama lain dari sumpah serapah dengan kemasan berkilau. Ataupun
cinta dengan warna-warni yang nantinya bisa ternoda dan membekas bak kelam. Lalu
bisakah bahagia tercipta tanpanya?
Dulu terasa. Hal aneh menggeliat
begitu menggelikan. Bagai orang bodoh yang bisa melakukan berbagai hal gila
karena sebuah mantra yang disebut cinta. Berkelana berdua. Entah menggunakan
kuda, kaki atau sayap yang kau rancang dari kapas. Layaknya dunia ini hanya se
sisi. Tidak ada halayak lainnya kecuali insan yang bercinta. Dulu terasa. Sangat
hangat. Tapi itu dulu. Sebelum wajahnya berubah murung karena tersakiti. Buat
malaikat-malaikat hati tertidur begitu pulas, walau fikiran dan hati bertengkar
begitu berisik.
...
Ruangan ini terasa begitu sesak
walaupun ukurannya begitu luas. Mungkin karena aku tidak mengijinkan angin
untuk masuk dan mengusap kulitku. Mereka berhenti. Semuanya. Entah itu detak
jam, jarak, siulan angin, bahkan suara cicak yang biasanya selalu ku caci sebelum
ia akhirnya terdiam. Ku harap, detak jantung serta hembusan nafas ini pun
terhenti. Biarkan aku sejenak saja melepasnya pergi.
Di sampingku. Sebuah jendela besar
sengaja ku biarkan berdebu. Butuh berhari-hari tanpa membersihkannya. Biarkan
ia bergulat dengan polusi, sebelum akhirnya kalah karena tidak sanggup membela
diri. Lalu ku ukir. Sebuah nama. Nama yang entah dimana pemiliknya. Aku mengeja
satu per satu huruf yang tertera, sembari jemari mengukir lembut penuh
kerinduan. Rindu yang ku tebar selama sembilan tahun ini. Untuk sebuah nama
yang pernah menggeliatkan rasa aneh di sekujur tubuhku. Dulu. Sembilan tahun
yang lalu. Bahkan dengan keterbatasan memori aku masih berusaha mengingatnya. Hampir
putus asa. Namun, jendela ini selalu menemani. Seperti burung, aku selalu
bertengger kala rindu mulai mengusik.
0 komentar:
Posting Komentar