# 1

# 1

Kala jejak terhapus oleh hujan yang tak berpihak...kala itu jemari kian mengukir

# 2

# 2

Waktu bukan mesin penjawab tuk semua tanya, maka jangan kau gantung asamu tuk detak yang tak terhingga

3

# 3

Berkawanlah pada jarak.... maka menanti tidak lagi merisaukan

# 4

# 4

Namun, jangan lupakan daaun yang jatuh walau kan tumbuh daun baru

# 5

# 5

Penaku kan mengiring setiap kata yang terurai ditiap hembusa nafas

Rabu, 29 Oktober 2014

Jangan!

Sejak awal aku bertemu denganmu, ku lihat mata tajam nan dalam itu. Lalu sejak detik itu juga aku mengatakan, “Jangan!”
Ku perhatikan sejenak lebih lama. Alis tebal dan memiliki lesung pipi. Entah mengapa hatiku terus berteriak, “ Jangan! Jangan!”
Aku mengalihkan perhatian darimu. Mencoba menemukan sesuatu yang lain. Tidak ingin ada sebuah rasa yang hinggap terlalu cepat. Namun angin mulai membuai dengan bisikannya. Mereka menyebutkan namamu hingga membuat senyumku tumbuh tanpa diminta. Awan pun berarak mengikuti. Menggambarkan siluetmu dalam warna jingga. Dan senyumku semakin tertarik lebar. Mereka menggodaku untuk terus menatapmu, berharap kau pun menatapku.
Saat itu, masih berjuang tuk hilangkan gambaranmu di ujung mata ini. Tapi telinga terngiang oleh suaramu, entah pada siapa kau berbicara, namun itu membuat hati ini terus berteriak semakin pekik, “ Jangan! Jangan! Jangan.” Apa yang membuatnya begitu kuat?
Ku tanyakan pada hati yang terus berdegup seiring kata itu terucap. Dan aku terkejut, lebih dari saat petasan meletus di hadapanku.
Jangan!
Jangan pernah membuat mata tajam nan dalam itu mengalirkan air mata kepedihan.
Jangan!
Jangan sampai lesung pipi itu sirna karena sedih.
Jangan!
Jangan membuatnya mengerutkan dahi karena marah.
Jangan!
Jangan kau mengacaukan suasana hati yang senang.
Jangan kau buat ia kecewa.
Jangan kau buat ia lupa akan kebahagiaan.
Jangan kau buat ia lari dan tak kembali.

Serentak air mataku mengalir begitu deras. Bagaimana bisa hati yang telah mati mengatakan hal itu layaknya aku telah mendapatkannya?  Layaknya aku mengenalnya sejak lama. Entah, apa namanya. Tapi rasa ini membuatku semakin khawatir. Apa yang harus ku lakukan setelah ini? Menamakannya “ Jangan!” dan aku berjanji akan mendahulukan kebahagiaannya.

Selasa, 28 Oktober 2014

cinta, sudah tidurkah?

Cinta. Sudah tidurkah? Mimpi indah kah? Aku ingin memelukmu, sekali saja untuk bekal bahagiaku selamanya. Dapatkah? Aku telah memperhatikanmu. Bisakah kau tatap aku dan mengartikan tatapanku? Aku sering mengatakan kata cinta. Terngiangkah di telingamu? Aku pun selalu menantimu memejamkan mata, membayangkan untuk membelai rambutmu hingga kau terlelap. Aku tidak akan tidur sebelum mu. Apa pun yang kau lakukan aku juga akan mencobanya. Apapun yang membuatmu lelah, aku juga ingin merasakannya.
Cinta. Sudah tidurkah? Dengarkah kau doa-doa ku? Aku ingin kau bahagia. Tidak ingin setetes air mata mengalir merusak indah senyummu. Tidak ingin amarah mengerutkan dahimu. Bisakah aku terus menjagamu? Susah senang bersama. Jika setetes air mata kesedihan menetes darimu, maka akan ada seratus tetesan air mata yang mengalir dariku. Jika setetes darah luka menggoresmu, maka aku akan membiarkan itu mengalir deras di nadiku.
Cinta. Sudah tidurkah? Apakah dingin mengusikmu? Aku akan memarahi angin dan memintanya diam sejenak. Cinta. Dapatkah aku memanggilmu begitu untuk selamanya? Aku tidak ingin kau menghilang, bahkan sedetik dari pandanganku. Tidak ingin jarak memisahkan, bahkan sejengkal. Aku ingin dan sangat ingin berada di sisimu, semakin dekat dan lebih dekat. Bisakah hanya aku yang warnai hidupmu? Melantunkan lagu ceria di pagimu? Membuatkan mu makanan lezat, menyeka keringat, memijat kaki lelahmu dan menciummu. Mungkinkah?

Cinta. Jika kau tidak menginginkan semua itu, maka acuhkan. Tapi, aku tidak akan berhenti melakukannya. Buatlah aku sebagai dermaga yang bisa kau singgahi dan kau tinggalkan kapanpun. Pukul aku jika kau ingin lampiaskan amarah, berteriaklah di hadapanku jika kau merasakan kesedihan. Teteskan air matamu di bahuku sesukamu. Hanya itu yang membuatku bahagia. Bolehkan aku memintamu untuk tetap bahagia agar aku tidak kehilangan keceriaan? Jika kau tidak menginginkan semua itu, aku mohon, setidaknya biarkan rasa ini merajalela hingga memangsaku. Cukup jalani saja kehidupanmu, aku ingin kau bahagia selamanya.

Minggu, 26 Oktober 2014

pertengkaran nurani

Aku berperang dengan hati nurani. Mereka meminta ku untuk menyerah mendapatkanmu, seperti sebelumnya. Aku selalu kalah di hadapan cinta. Entah, mungkin aku belum pantas menurutnya. Lalu kini aku harus menyerah kembali? Mereka menjawab “ Iya” dengan lugas. Namun seiring waktu, fikiranku mulai berani memberontak. Mereka semakin memojokanku.
Saat ini termenung menjadi hobi buruk yang merajaiku. Menghapus senyum dan segala imajinasi yang biasanya tanpa sungkan mengembangkan sayapnya. Luntur semua. Bilapun itu sebuah kain, maka warnanya akan pudar. Dan kini saat aku sendiri, aku bagai kain yang luntur tanpa sisa warna setitikpun. Hati dan fikiran tak henti memaki satu sama lain. Mana yang harus ku ikuti?
Hati yang lelah terus saja mencucurkan keringat, berupaya untuk menolak apa yang semestinya ku terima. Lalu fikiran yang ikut lelah karena terlalu banyak mengalah, kini mulai mencuap lebih lebar.
“ Urungkan, cinta tak harus memiliki.” Kata hati. Ia selalu begitu. Membuatku kalah di hadapan cinta lalu menjadi budak mereka.
Benar saja, selama ini aku terus bersembunyi di balik mata. Diam-diam mengincar mangsa, tapi takut untuk menerkam karena hati tidak mengijinkan. Sekuat apapun fikiran memberontak, hati terus saja menang. Itu membuatku kehilangan banyak kesempatan.
Bagaimana dengan fikiranku? Mereka terus mengatakan, “ Sedikit saja, ijinkan egois mengendalikanmu. Tidak kah kau ingin menyanding cinta yang terus kau dambakan di balik mata?”

Tentu saja. Bagaimana mungkin aku tidak menginginkan cinta melilitkan rangkulannya di bahuku. Pasti sangat menyenangkan bila aku tidak lagi sendiri. Setidaknya aku ingin mengijinkan keegoisan mempertinggi prakarsanya. Mengalahkan hati yang terus menerus menciut. Aku juga ingin mengijinkan mereka menerkam walau waktu belum menentukan. Aku ingin sedikit saja lebih berupaya mendapatkan. Bukan saja untuk menantikan. Tapi, darah ketakutan yang telah hati cucurkan itu mengalir begitu padat di nadi ku. Lagi-lagi aku tidak berani melangkah. Lagi-lagi cinta melangkah semakin jauh, dan aku hanya bisa menyaksikan.

Kamis, 16 Oktober 2014

Sang Fakir

Aku tidak sanggup mencintai siapapun. Bukan. Lebih dapat disebut dengan tidak layak. Jika ku ibaratkan hati itu sebuah bola, aku harus membaginya menjadi dua. Satu untukku, dan satu lagi untuk kekasihku. Namun, cinta selama ini lebih mirip dengan permainan. Bola itu ku biarkan utuh untuk digiring ke kanan dan ke kiri. Ku berikan pada mereka seutuhnya hanya untuk sekejap saja, lalu diberikan pada yang lain, sama sekejapnya. Tidak satupun ku bagi. Tidak ku belah untuk siapa nantinya, karena aku masih memilih. Di antara pemain itu, tidak satupun yang memiliki separuh bahkan secuil hatiku. Aku menghampiri mereka sama besarnya. Hanya sebagai tempat persinggahan saja.
Cinta yang ku mainkan dengan canda tawa tanpa memperhatikan bagaimana akhir dari cerita. Malah ku banggakan bagaimana perjalananku menemukan dermaga persinggahan. Kini ku rasakan. Bola yang tadi utuh tergores oleh sumpah serapah mereka yang tersakiti. Goresan itu akhirnya membuat bolaku berlubang. Lalu kan mengempis dan tak dapat berputar lagi. Bolaku hancur. Hatiku hancur. Hanya sisa saja yang kini ku miliki untuk bertahan hidup. Berharap ada yang akan menerimanya. Bukan untuk dihargai. Bahkan jika ku buang, tidak akan ada yang memungutnya untuk diperbaiki. Lalu cinta sempurna yang pernah ku bayangkan kini beranjak pergi.

Aku menyesal. Tidak memiliki keindahan cinta seperti yang ku damba. Terjun ke dalam kesendirian seperti fakir. Menengadahkan tangan meminta. Andai saja pangeran impian kan tiba. Lalu apa yang kan ku beri? Aku seperti kepompong saja. Kepompong yang telah ditinggalkan oleh kupu-kupu. Mereka terlahir indah dariku. Tapi kini tlah hilang. Lalu aku tersisa kosong. Berharap angin menghempaskan ku agar lebih cepat sirna.