# 1

# 1

Kala jejak terhapus oleh hujan yang tak berpihak...kala itu jemari kian mengukir

# 2

# 2

Waktu bukan mesin penjawab tuk semua tanya, maka jangan kau gantung asamu tuk detak yang tak terhingga

3

# 3

Berkawanlah pada jarak.... maka menanti tidak lagi merisaukan

# 4

# 4

Namun, jangan lupakan daaun yang jatuh walau kan tumbuh daun baru

# 5

# 5

Penaku kan mengiring setiap kata yang terurai ditiap hembusa nafas

Minggu, 07 Desember 2014

BOHONG...

Bisakah cinta berawal dari kebohongan? Lalu tumbuh dari paksaan dan menyebar luas sebagai kemunafikan yang siap menggerogoti ketulusan. Bisakah cinta hanya mengikuti fikiran sebagai perancang skenarionya? Tanpa adanya hati sebagai pengganggu realitas. Apa yang dibutuhkan dari cinta? Sakit yang terucap dari kejujuran, atau sebuah bahagia yang tercipta di sela kebohongan? Hah. Apa lagi istimewa cinta? Lika-liku jalan karena harus mengarungi samudra berdua? Atau lebih memilih jalan setapak yang belum jelas arahnya? Mengapa cinta begitu besar untuk dijadikan alasan hidup? Semenarik apa ia? Abstrak. Mengenali cinta dari sesosok manusia yang juga bisa membawamu berbelit dengan ketidaknyamanan. Cinta yang berwujud bualan kata sanjung yang sebenarnya adalah nama lain dari sumpah serapah dengan kemasan berkilau. Ataupun cinta dengan warna-warni yang nantinya bisa ternoda dan membekas bak kelam. Lalu bisakah bahagia tercipta tanpanya?

Dulu terasa. Hal aneh menggeliat begitu menggelikan. Bagai orang bodoh yang bisa melakukan berbagai hal gila karena sebuah mantra yang disebut cinta. Berkelana berdua. Entah menggunakan kuda, kaki atau sayap yang kau rancang dari kapas. Layaknya dunia ini hanya se sisi. Tidak ada halayak lainnya kecuali insan yang bercinta. Dulu terasa. Sangat hangat. Tapi itu dulu. Sebelum wajahnya berubah murung karena tersakiti. Buat malaikat-malaikat hati tertidur begitu pulas, walau fikiran dan hati bertengkar begitu berisik.
...
Ruangan ini terasa begitu sesak walaupun ukurannya begitu luas. Mungkin karena aku tidak mengijinkan angin untuk masuk dan mengusap kulitku. Mereka berhenti. Semuanya. Entah itu detak jam, jarak, siulan angin, bahkan suara cicak yang biasanya selalu ku caci sebelum ia akhirnya terdiam. Ku harap, detak jantung serta hembusan nafas ini pun terhenti. Biarkan aku sejenak saja melepasnya pergi.
Di sampingku. Sebuah jendela besar sengaja ku biarkan berdebu. Butuh berhari-hari tanpa membersihkannya. Biarkan ia bergulat dengan polusi, sebelum akhirnya kalah karena tidak sanggup membela diri. Lalu ku ukir. Sebuah nama. Nama yang entah dimana pemiliknya. Aku mengeja satu per satu huruf yang tertera, sembari jemari mengukir lembut penuh kerinduan. Rindu yang ku tebar selama sembilan tahun ini. Untuk sebuah nama yang pernah menggeliatkan rasa aneh di sekujur tubuhku. Dulu. Sembilan tahun yang lalu. Bahkan dengan keterbatasan memori aku masih berusaha mengingatnya. Hampir putus asa. Namun, jendela ini selalu menemani. Seperti burung, aku selalu bertengger kala rindu mulai mengusik.