Sejak
awal aku bertemu denganmu, ku lihat mata tajam nan dalam itu. Lalu sejak detik
itu juga aku mengatakan, “Jangan!”
Ku
perhatikan sejenak lebih lama. Alis tebal dan memiliki lesung pipi. Entah
mengapa hatiku terus berteriak, “ Jangan! Jangan!”
Aku
mengalihkan perhatian darimu. Mencoba menemukan sesuatu yang lain. Tidak ingin
ada sebuah rasa yang hinggap terlalu cepat. Namun angin mulai membuai dengan
bisikannya. Mereka menyebutkan namamu hingga membuat senyumku tumbuh tanpa
diminta. Awan pun berarak mengikuti. Menggambarkan siluetmu dalam warna jingga.
Dan senyumku semakin tertarik lebar. Mereka menggodaku untuk terus menatapmu,
berharap kau pun menatapku.
Saat
itu, masih berjuang tuk hilangkan gambaranmu di ujung mata ini. Tapi telinga
terngiang oleh suaramu, entah pada siapa kau berbicara, namun itu membuat hati
ini terus berteriak semakin pekik, “ Jangan! Jangan! Jangan.” Apa yang
membuatnya begitu kuat?
Ku
tanyakan pada hati yang terus berdegup seiring kata itu terucap. Dan aku
terkejut, lebih dari saat petasan meletus di hadapanku.
Jangan!
Jangan
pernah membuat mata tajam nan dalam itu mengalirkan air mata kepedihan.
Jangan!
Jangan
sampai lesung pipi itu sirna karena sedih.
Jangan!
Jangan
membuatnya mengerutkan dahi karena marah.
Jangan!
Jangan
kau mengacaukan suasana hati yang senang.
Jangan
kau buat ia kecewa.
Jangan
kau buat ia lupa akan kebahagiaan.
Jangan
kau buat ia lari dan tak kembali.
Serentak
air mataku mengalir begitu deras. Bagaimana bisa hati yang telah mati
mengatakan hal itu layaknya aku telah mendapatkannya? Layaknya aku mengenalnya sejak lama. Entah,
apa namanya. Tapi rasa ini membuatku semakin khawatir. Apa yang harus ku
lakukan setelah ini? Menamakannya “ Jangan!” dan aku berjanji akan mendahulukan
kebahagiaannya.
0 komentar:
Posting Komentar