# 1

# 1

Kala jejak terhapus oleh hujan yang tak berpihak...kala itu jemari kian mengukir

# 2

# 2

Waktu bukan mesin penjawab tuk semua tanya, maka jangan kau gantung asamu tuk detak yang tak terhingga

3

# 3

Berkawanlah pada jarak.... maka menanti tidak lagi merisaukan

# 4

# 4

Namun, jangan lupakan daaun yang jatuh walau kan tumbuh daun baru

# 5

# 5

Penaku kan mengiring setiap kata yang terurai ditiap hembusa nafas

Sabtu, 16 Agustus 2014

Bama si Laut tertawa

Pantai ini Bama namanya. Aku baru berkenalan dengannya. Ia memiliki air yang tenang serta pantai sebagai bahu yang landai. Jika dulu aku ingin hidup seperti air yang mengalir. Aku berfikir untuk tidak mengalir ke laut karena aku takut menjadi ombak yang mengguncangkan perahu. Aku ingin pergi ke danau dan tenang menjalani sisa hidup. Di sana tidak akan ada jeritan ketakutan dari para pelaut.
Namun, Bama memberiku pandangan lain mengenai laut. Di air tenang ini tetep ku dengar jeritan-jeritan. Jeritan bahagia. Anak-anak dan keluarga mencintai Bama layaknya seorang kakak bagi seorang adik kecil belajar berenang. Bama mengijinkan mereka mengarungi lebih jauh hingga pertengahan tanpa tenggelam. Bama menjaga mereka hingga rasa puas menggeliat di diri mereka. Keindahan ini menghadirkan banyak keluarga bagi Bama. Ia tidak lagi kesepian seperti pantai curam lainnya.
Aku kerap mendapati mentari bersemangat membakar laut. Tak sejahat yang ku kira rupanya. Mentari hanya menemani, kata Bama. Di bawah terik inilah Bama menghibur suara jeritan hingga petang mengantar mereka pulang.

Aku ingin menjadi Bama dan menghibur jeritan mereka dengan ketenangan ku. Tidak lagi seperti danau tak berkunjung. Terlalu sunyi untuk ku sebut sebagai ketenangan. Aku memanggilnya kesendirian. Jika aku adalah air, aku tidak ingin mengalir dari hulu dan menghantam bebatuan hanya untuk mendapat kesendirian. Aku ingin menghadapi hidup untuk lebih berarti hingga akhir menjadi batas bagiku.

0 komentar:

Posting Komentar