Hari
ini aku duduk termenung sendiri di belakang jendela. Menikmati senja tanpa
jingga, tanpa suara parau burung gagak. Hanya ada awan-awan yang berselisih.
Memisahkan diri dan bersatu dengan yang lain. Ulah angin, katanya. Angin pun
membekukanku melalui celah jendela. Senja ini, aku ingin merasakan bagaimana
perasaan Ratih yang sebenarnya. Dia adalah idolaku. Salah satu tokoh cerita
yang ku tulis sendiri.
Ratih
adalah seorang wanita yang tidak bisa melepas masa lalu. Terutama terkait
Prana—lelaki yang ia cinta. Cinta mereka kandas, tidak akan pernah bersatu. Aku
selalu memposisikan Ratih duduk seperti adanya diriku saat ini. Memperhatikan
gagak, mendengar lantunan suara paraunya serta menikmati jingga keemasan
tertelan petang. Ku gambarkan tangan Ratih yang keriput itu menyentuh besi
jendela yang mulai berkarat. Lalu ia bisa mengingat masa lalunya dan melihat
Prana dari kejauhan. Begitu kuat perasaannya terhadap lelaki itu sampai ia bisa
mengetahui setiap hembusan nafas Prana walau mereka tidak lagi bersua selama
enam belas tahun lamanya. Ratih selalu menghitung detak jantung Prana, dan
terkadang ia tersenyum sendiri setelah mengetahui keadaan kekasihnya itu. Ratih
selalu benar. Apa yang ia katakan setelah beranjak dari jendela senja itu
selalu benar. Layaknya ia tengah bercengkrama dengan Prana tanpa ada batas
jarak. Jendela itu seperti teropong baginya.
Kini
sampai aku membeku menyaksikan petang mengusir senja, aku tidak merasakan
apapun kecuali kaku karena angin terlalu kencang. Aku ingin menempelkan tanganku
di besi jendela agar bisa menatap masa lalu, tapi tidak satupun kenanganku
kembali. Layaknya aku adalah seorang bayi yang baru saja memasuki dunia. Yang
kini dapat ku ingat hanyalah apa yang ku pandang. Awan yang berarak hilir mudik
membentuk gambaran-gambaran, pohon yang terguncangkan angin dan besi yang
dingin.
Aku
tidak dapat mengingat masa lalu. Mungkin itu sudah kadaluarsa bagiku. Ya,
mungkin. Atau usiaku lebih tua ketimbang senja? Mungkin aku sudah malam. Jika
malam melihat kebelakang, hanya ada petang yang sama warnanya, gelap. Berbeda
dengan petang yang bisa melihat senja. Ataupun senja yang melihat siang cerah.
Dan siang yang melihat pagi sejuk. Masa laluku terlalu gelap untuk diingat. Aku
sudah malam, yang ku lihat di belakangku hanyalah petang. Bahkan aku berharap
petangku tertutup kabut selamanya, agar tidak lagi rasa rinduku mencuap
bertanya.
Ingin
ku tutup jendela ini. Dia berbeda dengan jendela milik Ratih. Jendelaku bukan
kaca spion atau teropong. Melainkan sebuah cermin, yang harus ku tatap untuk
mengetahui siapa diriku, bukan menyiakan waktu mengingat masa lalu suram. Tapi
ku dengar bisikkan lirih dari Ratih sebelum jendela itu rapat ku tutup.
“
Kau harus berteman dengan gagak dan jingga jika ingin mereka bercerita.”
0 komentar:
Posting Komentar