Pantai
ini Bama namanya. Aku baru berkenalan dengannya. Ia memiliki air yang tenang
serta pantai sebagai bahu yang landai. Jika dulu aku ingin hidup seperti air
yang mengalir. Aku berfikir untuk tidak mengalir ke laut karena aku takut
menjadi ombak yang mengguncangkan perahu. Aku ingin pergi ke danau dan tenang
menjalani sisa hidup. Di sana tidak akan ada jeritan ketakutan dari para
pelaut.
Namun,
Bama memberiku pandangan lain mengenai laut. Di air tenang ini tetep ku dengar
jeritan-jeritan. Jeritan bahagia. Anak-anak dan keluarga mencintai Bama
layaknya seorang kakak bagi seorang adik kecil belajar berenang. Bama
mengijinkan mereka mengarungi lebih jauh hingga pertengahan tanpa tenggelam.
Bama menjaga mereka hingga rasa puas menggeliat di diri mereka. Keindahan ini
menghadirkan banyak keluarga bagi Bama. Ia tidak lagi kesepian seperti pantai
curam lainnya.
Aku
kerap mendapati mentari bersemangat membakar laut. Tak sejahat yang ku kira
rupanya. Mentari hanya menemani, kata Bama. Di bawah terik inilah Bama
menghibur suara jeritan hingga petang mengantar mereka pulang.
Aku
ingin menjadi Bama dan menghibur jeritan mereka dengan ketenangan ku. Tidak
lagi seperti danau tak berkunjung. Terlalu sunyi untuk ku sebut sebagai ketenangan.
Aku memanggilnya kesendirian. Jika aku adalah air, aku tidak ingin mengalir
dari hulu dan menghantam bebatuan hanya untuk mendapat kesendirian. Aku ingin
menghadapi hidup untuk lebih berarti hingga akhir menjadi batas bagiku.
0 komentar:
Posting Komentar