Aku
melihat ada sinar di malam hari. Layaknya senja. Sinar jingga di balik
pegunungan. Sinar itu begitu jingga untuk malam yang harusnya berlatar gelap.
Ku rasa ini pertama kalinya bisa ku lihat siluet pegunungan di malam hari
dengan terang. Sebagaimana telah dikatakan oleh beberapa orang, pegunungan itu
tampak seperti putri tidur. Aku bisa melihat ada mata, hidung dan mulut yang
tergambar. Begitu jelas.
Senja
yang belum berakhir setelah petang menyapa. Bulan pun tlah tampak rupanya. Aku
melihat bagaimana pegunungan putri tidur itu lebih menarik saat senja ketimbang
pagi cerah. Kali ini, setelah melihat siluet pegunungan itu, aku merasakan
sebuah rasa yang telah lama ku rindukan. Entah bisa ku sebut apa, tapi rasa itu
sungguh membuatku tidak nyaman. Sepertinya aku telah melihat diriku sendiri,
dan pegunungan putri tidur itu menjadi cermin ku saat ini. Bedanya, aku tidak
memiliki pagi bahkan siang yang cerah, ataupun senja yang kan melukiskan
siluetku. Aku hanyalah putri tidur yang memiliki malam.
Putri
tidur. Begitu sebagian orang memanggilnya. Panggilan untuk pegunungan berwajah
itu, ataupun untukku. Aku tidak lebih dari seorang putri tidur. Hidupku, aku
bahkan tidak tahu bahwa diriku masih bisa menghirup udara. Aku tidak dapat
melakukan apapun, aku tidak dapat terbangun, tidak dapat merasakan apapun,
bahkan mungkin dunia telah enggan menganggapku. Tapi, ketika mata ini masih
berkedip, tangan ini tidak berhenti bergerak, kaki tak hentinya melangkah,
serta seluruh organ yang masih dapat bekerja. Aku merasa bahwa aku masih hidup.
Walau aku hidup seperti putri tidur. Tidak dapat terbangun dari mimpi. Tidak
dapat membuka mata dan melihat dunia nyata. Aku tertidur, nyenyak sekali.
Aku
bukanlah seseorang yang tidak berani menatap dunia dan saling bertegur sapa,
hanya saja aku tidak menemukan kenyamanan ku di sana. Walau terkadang banyak
umpatan dari orang lain untukku. Seperti, katak dalam tempurung, ataupun siput
yang tidak pernah meninggalkan cangkangnya. Aku lebih nyaman hidup seperti ini.
Bagiku, dunia ini hanyalah tempat dimana aku harus melewatinya dengan aman. Di
luar sana pasti banyak bahaya yang akan dengan mudah menerpa. Aku, aku tak
ingin hidup dalam bahaya itu. Tidak untuk kedua kalinya. Bagiku, tempurung
bukanlah hal buruk, aku masih bisa hidup di dalamnya. Aku bisa hidup dengan
imajinasiku saja. Membuat fantasi, bersenang-senang dengan teman khayalan.
Kalian harus tahu, itu bukanlah hal buruk. Aku bisa membuatnya sesuai dengan
keinginanku sendiri.
Malam
ini. Aku tertarik kembali. Pada masa yang ku rindukan. Masa yang pernah
membawaku mendengar kebisingan. Bagaimana bisa aku melupakan kenangan beberapa
tahun silam, hanya karena usapan pedih di ujung tawaku. Hingga aku berakhir
seperti putri tidur, bermimpi dan terus menutup mata. Aku benci merasakan hal
ini. Cukup menjatuhkanku ke dalam jurang di sudut hati. Dalam dan kelam, kata
itu saja yang tersisa untuk menggambarkannya. Jurang yang penuh dengan
kenangan. Jurang yang sudah lama ku tutup dengan air mata. Kini terkuak
kembali, setelah ujung mata melihat sinar senja dalam balik gulita. Rasa rindu
yang pernah ku akhiri di tempat yang sama saat kini aku mengingatnya. Betapa
haru dan menyesakkan dada. Aku benci mengenang masa lalu, aku ingin berhenti
memandangai siluet diriku, tapi mengapa di sisi lain aku menginginkan momen
seperti ini? Bahkan langkahku tak kunjung pergi walau angin menerpa begitu
mencerca. Dingin. Aku ingin kembali tertidur dan menikmati fantasi yang ku buat
sendiri.
0 komentar:
Posting Komentar